Minggu, 21 Mei 2017

Sebuah Persimpangan dan Perpisahan

Setiap tahun ada sebuah momok mengerikan bagi mereka yang tengah berada di tingkat terakhir jenjang pendidikan mereka.

Beberapa hari yang rasanya menjadi penentu hidup atau mati mereka.

Yang sebelumnya cukup cuek dengan yang namanya belajar, tiba-tiba menjadi tersadar dan lebih giat belajar.

Banyak yang tertolak saat menyatakan cintanya dengan alasan ingin fokus belajar (O, klise). Banyak yang putus.

Ada orang yang selama ini santai saja. Yang merasa bebas setelah jam pelajaran. Bebas engerjakan ini-itu, semua yang dia suka. Tapi sekarang, yang dia lakukan tak jauh-jauh dari belajar. Waktu untuk hal yang dia sukai tersita.

Ya, betapa yang namanya UN bisa sangat mengubah suatu kebiasaan bagi mereka yang akan menghadapinya.

UN, dengan kurang ajarnya menyita waktuku. Dengan kurang ajarnya mengambil apa yang kusuka. Membuatku menderita.

Hari demi hari, aku menanti kapan dia pergi, kapan dia mengembalikan apa yang telah dia sita selama ini.

Saat akhirnya dia pergi dan akhirnya mengembalikan apa yang dia sita, aku baru sadar akan sesuatu.

Setelah dia pergi, akan ada yang pergi bersamanya.

Ketika dia pergi, akan datang yang namanya kelulusan. Dan lalu datang sesuatu yang bernama perpisahan.

Perpisahan tidak seperti UN yang hanya menyita sesuatu untuk sementara. Perpisahan punya kuasa untuk merenggut mereka dari hari-harimu. Dia hanya mengembalikan mereka sesekali padamu. Itupun, kalau dia memang sedang berbaik hati.

Aku baru tersadar..

Seharusnya saat UN masih menghantui sampai mimpi, bukan hal-hal yang dia sitalah yang seharusnya jadi perhatianku. Namun seharusnya aku memfokuskan semuanya kepada sesuatu yang akan direnggut si Perpisahan.

Dan di sini, aku juga menyadari hal lain; Hidup itu adalah sebuah perjalanan. Penuh lika-liku, penuh persimpangan.

Setiap orang mempunyai tujuan serta jalannya masing-masing. Namun tak jarang bila ada orang lain yang berada di jalan yang sama dengan kita.

Awalnya, mereka tidak lebih dari sekadar orang dari simpangan lain yang tanpa sengaja berada di jalan yang kita lalui. Namun, dengan sebuah sapaan, mereka bisa berubah menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan.

Ada yang banyak dibagi bersama mereka. Cerita-cerita tentang jalan-jalan yang dilewati sebelumnya, pemikiran-pemikiran yang beragam, dan banyak sekali hal lainnya.

Kami berbagi tentang tawa, tentang canda, tentang sebuah perjuangan, dan tentang sebuah tujuan.

Kami berjalan, berjalan, berjalan. Melewati hari demi hari bersama, di jalanan yang sama.

Sampai suatu ketika, kami berada di sebuah persimpangan.

Di sinilah, di mana biasanya si Perpisahan datang menyapa.

Kami sudah tahu, kemana kaki ini akan melangkah melanjutkan perjalanan. Namun, rasanya kesedihan yang disebabkan si Perpisahan membuat kaki ini berat melangkah.

Rasanya aku ingin menari-nari di persimpangan ini, bersama mereka, para teman seperjalanan, sampai waktunya habis. Meski aku tahu, kalau aku dan mereka, harus melanjutkan perjalanan di jalanan yang berbeda.

Aku memandangi jalanku sendiri, ada sebuah target, ada sebuah impian di sana. Ketika rasanya sudah semakin dekat, tidak mungkin aku diam saja di sini, setelah semua perjalananan panjang yang telah kulalui ini.

Aku memandang ke depan, jalanan lurus yang akan dilalui kawanku.

Tak bisa kulihat apa yang ada di sana, tapi aku berdoa supaya dia bisa mendapat apa yang selama ini dia idamkan. Aku juga berharap kalau semoga ada teman seperjalanan baru untuknya. Tidak, tidak. Di sini tidak ada soal mengganti dan diganti, semua teman seperjalanan itu unik. Tidak bisa diganti, dan tak bisa terganti. Ini hanya masalah siapa yang ada di hati dan terus bertahan di dalamnya sampai nanti :).

Aku memandang ke arah jalan yang akan dilalui kawanku yang terakhir. Nanti, kami akan saling membelakangi. Namun aku yakin, selagi aku bisa melihatnya saat menengok ke belakang, aku akan melakukannya. Terus, sampai akhirnya dia pergi semakin jauh, menjadi sebuah titik di cakrawala. Aku hanya berharap jika pada saat itu tiba, sebuah komunikasi harus tetap terbentuk. Telepon, telepati, apapun itu, harus tetap ada.

Aku tersenyum, sambil mengusap air mata yang keluar diam-diam.

Kami belum sepenuhnya berada di persimpangan, meski aku sudah bisa melihat si Perpisahan menunggu kami di sana. Memastikan kami berjalan di jalan masing-masing.

Ku hela nafas panjang. Dalam satu helaan nafas itu, aku bisa melihat memori-memori bersama mereka.

Dulu, aku sempat pergi ke jalan yang berbeda. Berpisah dengan kawanku yang tadi akan berjalan lurus. Namun, 3 bulan kemudian aku kembali ke jalan yang sama dengannya. Sayangnya, dia memperlihatkan sikap tak acuh. Kami sempat bertengkar, sebelum akhirnya kami kembali akrab.

Lalu datang kawan kami yang terakhir. Dia datang dengan sebuah iPad pink. Terlihat dingin, menyeramkan, dan sepertinya misterius sekali.

Namun ternyata dia tidak seperti itu. Pribadinya hangat, dan semakin terbuka semakin aku ingin memeriksa apa yang salah dengan otaknya. Tapi tak perlu, toh kami sama gilanya. Sesama orang gila yang berkeliaran di luar RSJ dilarang saling mendahului.

Dia sering membawa makanan. Banyak. Dan membuatku tambah gendut dan gendut. Sementara dia akan tetap kurus karena makanannya dilimpahkan kepada aku, dan kawanku yang lain.

Hah, rasanya aku ingin menghentikan waktu. Aku ingin mengenyahkan si Perpisahan dan aku ingin marah besar kepada si UN karena dia biangnya. Tapi tak bisa. Toh kalau aku teriak-teriak ke mereka, mereka tak punya telinga. Hatipun antata punya dan tak punya (mungkin punya, soalnya tadi aku tulis kalau si Perpisahan sedang berbaik hati, dia mau membiarkan kami bertemu kembali meski si Pertemuan -- yang meskipun mereka bersaudara, dia adalah musuh terbesarnya --). Punya nyawa aja tidak. Kasihan juga, setelah dipikir-pikir. Tapi tetap saja mereka kurang ajar.

Yang sekarang bisa kulakukan hanyalah mencoba memperlambat langkah, dan menghabiskan lebih banyak waktu dan ruang di otak untuk menyimpan memori bersama mereka sebelum persimpangan dan si Perpisahan tinggal sejengkal tangan bayi di depan kami..

Ya, sebelum kaki ini benar-benar melangkah pergi, lalu sama-sama saling menjauhi satu sama lain.. :")

1 komentar:

  1. I'm 100% agree with you :D Kita tersiksa dengan UN, berharap ia segera pergi dan menghilang, (untuk kembali di lain waktu =P) tapi saat tiba saatnya dia pergi, dia membawa kenangan indah yang mungkin tidak akan terulang lagi =( Perasaanku sekarang persis seperti itu, Sa, sama kayak kamu :) Sayang, kita terlambat menyadarinya..

    BalasHapus