Minggu, 21 Mei 2017

Sebuah Persimpangan dan Perpisahan

Setiap tahun ada sebuah momok mengerikan bagi mereka yang tengah berada di tingkat terakhir jenjang pendidikan mereka.

Beberapa hari yang rasanya menjadi penentu hidup atau mati mereka.

Yang sebelumnya cukup cuek dengan yang namanya belajar, tiba-tiba menjadi tersadar dan lebih giat belajar.

Banyak yang tertolak saat menyatakan cintanya dengan alasan ingin fokus belajar (O, klise). Banyak yang putus.

Ada orang yang selama ini santai saja. Yang merasa bebas setelah jam pelajaran. Bebas engerjakan ini-itu, semua yang dia suka. Tapi sekarang, yang dia lakukan tak jauh-jauh dari belajar. Waktu untuk hal yang dia sukai tersita.

Ya, betapa yang namanya UN bisa sangat mengubah suatu kebiasaan bagi mereka yang akan menghadapinya.

UN, dengan kurang ajarnya menyita waktuku. Dengan kurang ajarnya mengambil apa yang kusuka. Membuatku menderita.

Hari demi hari, aku menanti kapan dia pergi, kapan dia mengembalikan apa yang telah dia sita selama ini.

Saat akhirnya dia pergi dan akhirnya mengembalikan apa yang dia sita, aku baru sadar akan sesuatu.

Setelah dia pergi, akan ada yang pergi bersamanya.

Ketika dia pergi, akan datang yang namanya kelulusan. Dan lalu datang sesuatu yang bernama perpisahan.

Perpisahan tidak seperti UN yang hanya menyita sesuatu untuk sementara. Perpisahan punya kuasa untuk merenggut mereka dari hari-harimu. Dia hanya mengembalikan mereka sesekali padamu. Itupun, kalau dia memang sedang berbaik hati.

Aku baru tersadar..

Seharusnya saat UN masih menghantui sampai mimpi, bukan hal-hal yang dia sitalah yang seharusnya jadi perhatianku. Namun seharusnya aku memfokuskan semuanya kepada sesuatu yang akan direnggut si Perpisahan.

Dan di sini, aku juga menyadari hal lain; Hidup itu adalah sebuah perjalanan. Penuh lika-liku, penuh persimpangan.

Setiap orang mempunyai tujuan serta jalannya masing-masing. Namun tak jarang bila ada orang lain yang berada di jalan yang sama dengan kita.

Awalnya, mereka tidak lebih dari sekadar orang dari simpangan lain yang tanpa sengaja berada di jalan yang kita lalui. Namun, dengan sebuah sapaan, mereka bisa berubah menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan.

Ada yang banyak dibagi bersama mereka. Cerita-cerita tentang jalan-jalan yang dilewati sebelumnya, pemikiran-pemikiran yang beragam, dan banyak sekali hal lainnya.

Kami berbagi tentang tawa, tentang canda, tentang sebuah perjuangan, dan tentang sebuah tujuan.

Kami berjalan, berjalan, berjalan. Melewati hari demi hari bersama, di jalanan yang sama.

Sampai suatu ketika, kami berada di sebuah persimpangan.

Di sinilah, di mana biasanya si Perpisahan datang menyapa.

Kami sudah tahu, kemana kaki ini akan melangkah melanjutkan perjalanan. Namun, rasanya kesedihan yang disebabkan si Perpisahan membuat kaki ini berat melangkah.

Rasanya aku ingin menari-nari di persimpangan ini, bersama mereka, para teman seperjalanan, sampai waktunya habis. Meski aku tahu, kalau aku dan mereka, harus melanjutkan perjalanan di jalanan yang berbeda.

Aku memandangi jalanku sendiri, ada sebuah target, ada sebuah impian di sana. Ketika rasanya sudah semakin dekat, tidak mungkin aku diam saja di sini, setelah semua perjalananan panjang yang telah kulalui ini.

Aku memandang ke depan, jalanan lurus yang akan dilalui kawanku.

Tak bisa kulihat apa yang ada di sana, tapi aku berdoa supaya dia bisa mendapat apa yang selama ini dia idamkan. Aku juga berharap kalau semoga ada teman seperjalanan baru untuknya. Tidak, tidak. Di sini tidak ada soal mengganti dan diganti, semua teman seperjalanan itu unik. Tidak bisa diganti, dan tak bisa terganti. Ini hanya masalah siapa yang ada di hati dan terus bertahan di dalamnya sampai nanti :).

Aku memandang ke arah jalan yang akan dilalui kawanku yang terakhir. Nanti, kami akan saling membelakangi. Namun aku yakin, selagi aku bisa melihatnya saat menengok ke belakang, aku akan melakukannya. Terus, sampai akhirnya dia pergi semakin jauh, menjadi sebuah titik di cakrawala. Aku hanya berharap jika pada saat itu tiba, sebuah komunikasi harus tetap terbentuk. Telepon, telepati, apapun itu, harus tetap ada.

Aku tersenyum, sambil mengusap air mata yang keluar diam-diam.

Kami belum sepenuhnya berada di persimpangan, meski aku sudah bisa melihat si Perpisahan menunggu kami di sana. Memastikan kami berjalan di jalan masing-masing.

Ku hela nafas panjang. Dalam satu helaan nafas itu, aku bisa melihat memori-memori bersama mereka.

Dulu, aku sempat pergi ke jalan yang berbeda. Berpisah dengan kawanku yang tadi akan berjalan lurus. Namun, 3 bulan kemudian aku kembali ke jalan yang sama dengannya. Sayangnya, dia memperlihatkan sikap tak acuh. Kami sempat bertengkar, sebelum akhirnya kami kembali akrab.

Lalu datang kawan kami yang terakhir. Dia datang dengan sebuah iPad pink. Terlihat dingin, menyeramkan, dan sepertinya misterius sekali.

Namun ternyata dia tidak seperti itu. Pribadinya hangat, dan semakin terbuka semakin aku ingin memeriksa apa yang salah dengan otaknya. Tapi tak perlu, toh kami sama gilanya. Sesama orang gila yang berkeliaran di luar RSJ dilarang saling mendahului.

Dia sering membawa makanan. Banyak. Dan membuatku tambah gendut dan gendut. Sementara dia akan tetap kurus karena makanannya dilimpahkan kepada aku, dan kawanku yang lain.

Hah, rasanya aku ingin menghentikan waktu. Aku ingin mengenyahkan si Perpisahan dan aku ingin marah besar kepada si UN karena dia biangnya. Tapi tak bisa. Toh kalau aku teriak-teriak ke mereka, mereka tak punya telinga. Hatipun antata punya dan tak punya (mungkin punya, soalnya tadi aku tulis kalau si Perpisahan sedang berbaik hati, dia mau membiarkan kami bertemu kembali meski si Pertemuan -- yang meskipun mereka bersaudara, dia adalah musuh terbesarnya --). Punya nyawa aja tidak. Kasihan juga, setelah dipikir-pikir. Tapi tetap saja mereka kurang ajar.

Yang sekarang bisa kulakukan hanyalah mencoba memperlambat langkah, dan menghabiskan lebih banyak waktu dan ruang di otak untuk menyimpan memori bersama mereka sebelum persimpangan dan si Perpisahan tinggal sejengkal tangan bayi di depan kami..

Ya, sebelum kaki ini benar-benar melangkah pergi, lalu sama-sama saling menjauhi satu sama lain.. :")

Senin, 27 Maret 2017

Bincang Buku: Semua Ikan di Langit

          Singkat cerita, suatu hari di pertengahan Desember tahun lalu, daku mendapat kabar tentang menangnya kak Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie di Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016 dan dia menjadi SATU-SATUnya pemenang yang ada (Meski ada 4 pemenang unggulan lainnya).
          Kalau dia orangnya, sepertinya tidak akan heran kalau dia bisa seperti itu. Tapi tetap saja kekeceannya membuatku tak bisa berkata-kata. Fix, aku menobatkan dia menjadi orang terkece di dalam hidupku saat ini.
          Naskahnya yang mengantarkannya menjadi pemenang satu-satunya itu berjudul “Semua Ikan di Langit” dan akan diterbitkan di Grasindo awal Febuari 2017.
          Kalau mendengar judulnya saja, aku hanya bisa membayangkan ikan Indosiar.. Ikan dengan sayap-sayapan itu.. He, lupakan saja.
          Dengan kesuksesannya kali ini, seharusnya sih ada acara mirip-mirip seperti launching di Tanah Lada dulu dan aku harap acaranya di Bandung biar aku bisa datang ke sana, hehe..
          Perkataan adalah doa.. Dan tanggal 10 Febuari, seorang teman yang menjadi akrab denganku gara-gara menangnya kak Ziggy ini memberitahuku kalau ada acara bincang bukunya tanggal 25 nanti di café Bober Tera. Yaaaaaaay!! Aku mau datang~ Sekalian meet up dengannya yang sebenarnya masih tetanggan dalam bentuk kecamatan denganku.
          Kesenangan dan ketidaksabaran ini membuatku melampaui 2 minggu penuh TO dengan semangat sekali.
          Tanggal 25 pun tiba. Aku diantar Mama dari sebuah acara mural ke lokasi. Ah, terima kasih, Ma.. Kalau tidak diantar mungkin aku datang ke sana dengan baju basah kuyup karena terkena hujan deras di tengah jalan.
          Di café ini masih sangat sepi. Hanya ada 1 meja yang ditempati orang yang sedang menikmati hidangan. Tidak ada tanda-tanda kak Andika yang akan menjadi pembicara ataupun sang penulis sendiri.
          Aku duduk di sebelah panggung sambil menunggu orang-orang yang aku kenal datang.
          Tak lama, kak Andika datang dan segera duduk di dekatku. Kami berbincang-bincang sedikit soal homeschooling dan bernostalgia soal acara launching di Tanah Lada 2 tahun lalu. Soal, “Aku satu-satunya orang yang enggak kenal kak Ziggy secara langsung yang datang.” Dan mengundang tawa dari kami berdua.
          “Sedih.. Aku enggak bawa buku yang lain.. Lupa dibawa..” keluhku. “Tapikan kamu yang ditanda tanganin udah banyak, Ailsa..” kata kak Andika. “Cuman tiga..” ujarku tambah sedih. “Itu enggak ‘cuman’, Ailsa..” dan akupun berhenti mempermasalahkan “Tidak bawa buku yang lain.”.
          Kak Andika bilang, dia agak takut kalau banyak yang batal datang karena hujan deras ini. Aku juga tidak mau lagi jadi satu-satunya yang datang. Jadi kami berdua hanya bisa berdoa semoga orang-orang lain tetap mau datang ke sini.
          Tiba-tiba datang 2 orang berbaju seragam Gramedia yang dengan mudahnya melengserkan aku dan kak Andika ke meja lain. Mereka membawa dus-dus berisi buku-buku kak Ziggy dan membuatku sedih karena aku tidak punya cukup uang untuk beli buku lagi.. Hiks.
          Akhirnya, kak Andika dan aku bergabung dengan seorang kakak berbadan mungil di meja depan panggung. Namanya Lisma, dan ternyata sudah kuliah.
          “Lisma ikut acara bincang buku juga?” Tanya kak Andika dan kak Lisma bilang ‘Iya’ dengan senyum yang lebar.
          Katanya, awal dia kenal dengan buku kak Ziggy karena direkomendasikan seorang temannya. Dan pada akhirnya menjadi pembaca tetap karya-karya kak Ziggy. Sampai saat ini dia sudah baca di Tanah Lada, San Francisco, dan lagi OTW baca Semua Ikan di Langit sama seperti aku.
          Lama-kelamaan, meja-meja kosong mulai terisi dan semakin ramai saja. Dari wajahnya, sepertinya kak Andika sudah lega.
          Meja ini kembali kedatangan anggota baru; Kak Septi Ws selaku editor kak Ziggy di buku Jakarta Sebelum Pagi dan di buku Semua Ikan di Langit ini. Nanti kak Septi juga akan menemani kak Andika jadi pembicara.
          Kak Andika terlibat pembicaraan seru dengan kak Septi dan begitupun juga aku dengan kak Lisma. Kak Lisma cerita, saat pertama kali buka segel Semua Ikan di Langit, secara ajaib dia sedang berada di atas bus Damri dengan trayek Dipatiukur – Leuwi Panjang. Kebetulan banget!
          Dan dia bilang dia pusing sama di Tanah Lada tapi tetap suka-suka saja. Dia juga bilang kalau San Francisco paling mudah dipahami menurutnya. 
          Di sela-sela pembicaraan kami, rasanya aku ingin terus-terusan melirik ke bawah. Paranoid aja kalau kak Ziggy tiba-tiba muncul dari sana dan bilang, “Kalian membicarakanku di atasku!”
..horor
          Tapi untungnya tidak. Dia datang dari pintu masuk café tentunya dan bergabung bersama kami di meja-depan-panggung. Dan dia duduk di sebelahku. Ah.. Senangnya duduk di antara dua orang yang aku kagumi. UEHEHEHEHEHE bahagia~


Selfie candid dengan orang di sebelah~
          Kak Septi berbincang dengan kak Ziggy sedikit dan lalu memberikan sebuah kresek putih berisi buku-buku.
          Aku diam-diam mengintip isinya dan menemukan cover buku Semua Ikan di Langit.
          Awalnya tidak ngeh kalau sebenarnya itu bukan versi buku yang aku punya. Tapi ternyata itu versi terjemahan bahasa Inggrisnya buat dibawa ke London Bookfair! Kece… Dan kabarnya kak Ziggy sendiri yang menerjemahkannya – tidak heran lagi. Dan aku juga melihat ada buku dengan cover berwarna biru. Saat dikeluarkan ternyata itu buku Jakarta Sebelum Pagi dengan cover baru. Aku teringat pernah ada yang menyandingkan buku I'll Give You The Sun dan Jakarta Sebelum Pagi dan memang covernya sangat mirip. Kata kak Ziggy bagian yang buat covernya sudah dimarahi. Dan sekarang makannya ganti cover..
All the Fish in the Sky
Cover baru Jakarta Sebelum Pagi

          Acaranya segera dimulai beberapa menit setelah kedatangan kak Ziggy.
          Yang membuka acara adalah Tante Jia yang kalau ku tebak, mungkin penyelenggara acara ini. Terima kasih Tante, atas acaranya~
          Acaranya dimulai dengan pembacaan pre-prolog oleh Tante Jia. Sebelumnya dia sempat menanyakan kepada kak Ziggy soal cara membaca namanya dan aku bisa mendengar kak Ziggy di sebelahku berbisik, “Get your contact lenses~”.
          Yang menjawab pada akhirnya adalah kak Andika. “Ziggy, Zesya-zevina-zabriski.” Begitulah yang aku dengar dari kak Andika.. Maapkan bila masih salah juga~
          “Jadi ini buku ke-25 ya, Ziggy?” Tanya Tante Jia dan kak Ziggy hanya merespon dengan, “Hah!? Tidak tahu..” yang ditimpali “Saking banyaknya.” Oleh kak Andika.
          Ah ya, ternyata yang di panggung bukan hanya kak Septi dan kak Andika. Tapi ada seorang moderator yang kalau tidak salah namanya Om Arie.. Ku tidak tahu karena tidak kenalan dan dirinya juga tidak bergabung dengan meja-depan-panggung.
          Setelah pembukaan, kak Andika mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang datang meski sedang hujan deras. Lalu dia cerita kalau waktu di Tanah Lada dulu hanya ada 1 orang yang tidak kak Ziggy kenal yang datang. Yang lainnya adalah teman-temannya kak Ziggy dan kurang dari 10 orang. Dan seluruh cafépun tertawa. Aku tidak ingat apa kak Ziggy ketawa atau tidak, tapi dia lirik-lirik aku.. atau mungkin aku geer.. Entah.
          Pokoknya kak Andika merasa senang kalau kemenangan kak Ziggy kali ini bisa menarik banyak pembaca baru. Yah, aku juga senang tidak sendiri lagi..
          Oh ya, sebelumnya aku ingin meminta maaf karena aku tidak terlalu mendengarkan apa yang orang-orang bicarakan di acara ini karena aku belum baca sampai selesai bukunya dan tidak terlalu ingin mendapat spoiler banyak-banyak. Jadi aku tidak terlalu mendengarkan. Kemungkinan apa yang aku tuliskan urutannya terbalik-balik, atau ada yang tidak lengkap.. Mohon maafkan.. Daku akan tuliskan seingat daku saja, ya.. (Dan ini juga peringatan bagi yang belum baca)
          Seingatku, yang pertama berbicara adalah Om Arie. Katanya, “Buku ini mengajarkan kalau mencintai itu sederhana..”. “Di halaman 64, ada kalimat, ‘Menyayangi itu adalah kegiatan yang mengerikan’.” Dan lalu menyambung ke kalimat, “Intinya tuh, Tuhan itu sayang sama kamu. Kalau kamu enggak sayang, rasakan saja akibatnya!”.
          Kak Andika menimpali soal si Bus yang notabene adalah benda mati, bisa mencintai Beliau. Dan tentang Nad yang tidak bisa melihat ke ajaiban yang terjadi di depan antenanya.
          Lalu, entah siapa yang bilang, “Buku ini tuh adalah buku yang setelah selesai dibaca dan ditaruh, bikin kita mikir.”
Pemandangan dari tempat dudukku di meja-depan-panggung

          Semuanya seakan terdistract ketika kak Ziggy di sebelahku bilang, “Seperti nonton TV sambil makan kentang goreng~” dan lalu dia menawarkan kentang gorengnya kepada aku dan kak Lisma sambil berkata kalau dia tidak perlu bayar makanan-makanan yang dia pesan. Ah, motivasiku.. Aku ingin suatu hari nanti jadi orang penting yang diundang ke acara dan mendapatkan fasilitas gratis.. Mungkin memulai dengan jadi finalis lomba lagi.. Aamiin..
          Oh iya, aku sempat bertanya ke Kak Ziggy soal keikutsertaannya sebagai juri di ARKI tahun ini. Tapi dia malah jawab, “Masa jadi perserta?”
          Bukan itu yang aku tanya, masyaallah.. Maksudnya jadi juri lagi apa enggak.. Ya Allah.. Ah sudah deh. Banyak-banyak istighfar saja.. Tapi aku meresponnya dengan, “Ah, bisa, palsukan data diri saja lalu ikutan.” Tapi plis kak jangan ikutan.. Nanti harusnya 100 finalis jadi 1 doang yang menang dan itu kakak.. Jangan.. Ampun, Yang Mulia..
          Aku kemudian mengalihkan pembicaraan. “Seneng ya kak enggak harus ada di panggung?” tanyaku. “Iya.. Mereka sudah belajar~” jawabnya. Dan aku secara otomatis flashback ke acara di Tanah Lada dan dengan hadirnya kak Ziggy sebagai penanda tangan buku di acara bukunya saja mungkin sudah cukup (ditambah dengan sesi jawab). Dan tidak menempatkannya di atas panggung adalah keputusan yang tepat.. Sepertinya..
          Tak lama setelah dia bicara soal “Seperti menonton TV sambil makan kentang goreng.”, kereta lewat. “Dan itu iklannya~” kak Ziggy menunjuk kereta api yang lewat dengan potongan kentang gorengnya. “Sponsornya.” Tambah kak Lisma.
          “Ini kebetulan tempatnya di sebelah rel kereta api, ya.. Jadi ada waktu buat mikir.” Kata kak Septi.
          Setelahnya aku tidak ingat apa yang terjadi ketika tiba-tiba micnya berpindah ke tangan kak Lisma. Kak Ziggy di sebelahku sibuk berkata, “Hayo.. Hayo..” .
          Kak Lisma rupanya ditanyai soal bagaimana dia bisa kenal dengan bukunya kak Ziggy, sejak kapan, dan apa pendapatnya.
          Dan setelah dia selesai bicara, micnya diserahkan kepadaku atas suruhan kak Andika. APA INIIIIIII!!
          “Ayo.. Siapa tahu dapet goodybag lagi~” kata kak Ziggy dengan wajah agak menyebalkan. Yha, setidaknya dia inget aku setelah di awal ngaku tidak ingat aku siapa.. Sampai kak Andika bilang soal “Jangan terlalu jujur.”
          Karena kespeechlessanku, aku hanya bisa menjawab singkat dan sangat dodol. Dan hal ini akan aku sesali di dalam hidupku. Jadi untuk meringankan beban yang aku sesali ini, aku akan menulis revisiannya di sini (Serasa bikin skripsi).
          “Pertama kali kenal dengan karyanya kak Ziggy itu di sebuah writing camp tahun 2014. Waktu itu semua kamar-kamar perserta dinamai dengan nama-nama buku dari seri DAR! Mizan dan kebetulan kamarku dinamai pakai buku kak Ziggy yang judulnya Lucid Dream.          Setelah pulang dari acaranya dan pergi ke toko buku, ketemu sama bukunya. Karena bukunya genrenya horror, awalnya beli hanya untuk kenang-kenangan. Tapi kata teman baca aja karena bukunya kak Ziggy keren banget. Ya sudah, coba baca. Dan ternyata emang keren banget dan sejak saat itu suka dengan karyanya kak Ziggy (Oh iya, terima kasih karena telah membuat daku berani baca yang horror-horor..).          Pendapatnya soal karyanya kak Ziggy.. Karya kak Ziggy itu unik.          Humor kak Ziggy yang tidak biasa yang dia masukan ke dalam tulisan-tulisannya itu khas banget dan membekas. Tapi tulisannya seperti punya 2 sisi. 1 sisi membuat kita bisa tertawa-tawa santai. Namun lambat laun kita akan memasuki ke sisi kedua, ke bagian di mana ceritanya berubah jadi tulisan yang terasa serius, berat, dan membuat kita merenung. Rasanya.. seperti menggambarkan hidup yang tidak selamanya berat, tapi ada juga waktu di mana kita bisa tertawa dan menikmati hidup ini. Bukunya seperti santai-santai-serius, begitu.          Di dalam tulisan-tulisannya, kak Ziggy itu seperti jadi perantara ke dunia yang tak terjamah oleh orang-orang dengan kemampuan imajinasi rata-rata.. Dan di setiap karya yang baru, jangkauan perantaraannya semakin luas saja rasanya.Ia membeberkan hal-hal yang tersembunyi di balik sekat-sekat imajinasi lewat tulisannya kepada kita, para pembaca. Dan ini bagian favorit saya di setiap karyanya.Ah ya, alur yang ia buat di setiap karyanya terasa begitu apik dan plot twistnya terlalu keren dan di luar batas pikirku.Soal perkembangan tulisannya, mungkin aku tidak bisa langsung membandingkan Lucid Dream dengan Semua Ikan di Langit karena genrenya berbeda. Tapi kalau misalnya membandingkan White Wedding dengan Jakarta Sebelum Pagi, terasa perbedaannya. Jakarta Sebelum Pagi terasa jauh lebih ‘Luas’ daripada White Wedding. Mungkin begitu cara daku untuk menggambarkan perkembangnya. Dan mungkin sampai di sini saja..”
Yah.. Untungnya aku enggak ngomong sepanjang itu pas kemarin ya.. Takut ditinggal tidur soalnya.
Perbincangan inipun kembali berlanjut meski sering terinterupsi oleh iklan-iklan yang disponsori PT. KAI.. Dan mulai dari sini aku merasa pusing karena orang-orang di depan sana mulai membahas bukunya dari sisi agama. Kata mereka bukunya religius. Karena aku belum baca semuanya aku tidak ngerti apa-apa.
Yang jelas, yang keren adalah buku ini dibahas dari sisi 2 agama dan mereka nyambung.
Kata mereka, Beliau itu adalah simbol Tuhan meski digambarkan dengan sosok anak kecil. Dan aku yang belum mendapat pijakan yang jelas dari membaca setengah bukunya, masih bisa belum menyimpulkan apa-apa secara mantap, jadi bingung.
“Aku kira Beliau itu kak Ziggy?” kataku dan kak Ziggy tertawa puas sekali dan baru bilang, “Bisa jadi, bisa jadi.”.
Aku berpikiran begitu karena ada kalimat di halaman 68 yang berbunyi, “..mungkin memang inilah cara orang-orang yang sukar dipahami menunjukkan rasa sayang mereka.”. Dan bagiku yang belum kenal kak Ziggy, kak Ziggy sepertinya sukar dipahami.. Jadi ya.. Kukira Beliau itu kak Ziggy sendiri. Tapi setelah selesai baca bukunya di kemudian hari, aku meralat pernyataanku dan mengakui sepertinya Beliau itu memang simbol Tuhan..
Yang kuingat soal pembicaraan yang memberat ini adalah ketika Om Arie yang bilang soal bagian di mana ada cerita soal cahaya pertama yang diciptakan dan cahaya itu sangat mencintai Beliau dan tidak ada lagi yang dicintainya selain Beliau. Dia bilang dia teringat dengan Nabi Muhammad SAW yang merupakan nur pertama yang diciptakan.
Setelah aku menyelesaikan bukunya, aku menemukan bagian itu tapi aku makin tambah pusing. Katanyakan ini mengingatkannya akan Nabi Muhammad, tapi setelah aku baca, sang cahaya ini sangat mencintai Beliau dan tidak ada lagi yang dicintainya selain Beliau. Dan pada suatu ketika Beliau menciptakan manusia dan Beliau sangat mencintainya dan meminta cahaya-cahaya lain untuk mencintainya juga. Tapi sang cahaya pertama tidak mau mencintai manusia karena cintanya pada Beliau sangat besar dan dia hanya bisa mencintai Beliau. Hal itu membuat Beliau marah dan mengusir sang cahaya pertama.
Jadi ini Nabi Muhammad atau setan, nih?
Sebelum beli bukunya, aku sudah dengar dari temanku itu (yang memberitahuku soal acara ini. Ah iya, namanya Dirga dan dia tidak bisa datang hari ini.. Sedih) kalau banyak orang yang pusing membacanya. Kataku sih orang-orang pusing karena tidak biasa aja sama tulisannya kak Ziggy. Tapi pada akhirnya aku pusing juga, tapi aku pusing gara-gara tercampuri sudut pandang orang lain.
Lalu kak Septi membahas ada simbol Lucifer di buku ini. Sosok yang menggambarkan Lucifer. Lalu dia juga bicara soal penciptaan kembali dunia. Tapi aku tidak terlalu mendengarkan karena sudah terlanjur terlalu pusing.
Di ujung perbincangan ini, kak Septi bilang buku Semua Ikan di Langit ini seperti tamparan keras bagi orang-orang yang dulu mempermasalahkan di Tanah Lada. Kayak, 'Masa kayak gini masuk sastra?" ; "Masa kayak gini menang DKJ??" dan sebagainya. Atau bagi orang-orang yang membeli bukunya hanya untuk ngejek-ngejek namanya. Dan di sini rasanya aku sebal dengarnya. Ada ya, manusia-manusia kurang ajar seperti itu. Rasanya aku menjelma jadi bus Damri dan kak Ziggy itu Beliau. Aku ingin nabrak orang-orang itu sampai penyet semua.
Yak, sepertinya perbincangannya selesai di sini, seingatku. Disambung dengan sesi tanya jawab.
Entah mengapa, setiap kak Ziggy menjawab pertanyaan, auranya berubah jadi menyeramkan. Jadi aku tidak akan nanya-nanya. Kalau mau nanya kasual saja.
Aku juga tidak mendengarkan bagian ini. Tapi aku akan tulis yang aku ingat dan penting.
Pertama adalah soal seseorang yang bertanya soal kenapa banyak tokoh kak Ziggy yang anak-anak dan bisa jujur banget penulisannya. Kak Ziggy jawab, Mamanya pernah bilang ke dia kalau dia itu enggak punya related sama dunia orang dewasa. Orang lain ngomong apa tuh dia enggak ngerti. Dan *duh, lupa, pokoknya begitu*. Jadi mungkin dari situ dia lebih nyaman kalau pakai karakter anak-anak(?)
Kedua, ada orang yang menanyakan apakah ada masalah dengan masa kecil kak Ziggy dan dia jawab kalau masa kecilnya sangat bahagia sekali. Dia enggak pernah disuruh tidur siang, kalau mau bolos dibolehin sama mamanya. Dan ya begitulah. Bagi kak Ziggy masa kecilnya sangat menyenangkan.
Ada juga yang menanyakan soal manajemen waktu kak Ziggy dan dia jawab, “Yang nanya soal ginian pasti mahasiswa.” Dan dia melanjutkan dengan mengaku kalau dia sudah sidang sejak tahun lalu tapi tidak lulus-lulus. Kalau belajar, dia cuman belajar di kelas karena dia kalau di kelas ya untuk belajar aja. Jadi dia merhatiin banget di kelas.
Dan terakhir ada yang menanyakan waktu khusus untuk menulis dan kak Ziggy jawab dengan sangat simple. “Saya tidak punya waktu khusus untuk menulis. Kalau mau nulis ya nulis, kalau enggak ya enggak.”
Seginilah yang bisa aku inget atau yang penting dan bisa kuingat di sesi tanya jawab.
Setelahnya ada sesi foto bareng dan tanda tangan.
          Asalnya aku mau selfie dengannya (dengan tidak candid) *mentang-mentang hape sudah baru, tidak seperti dulu* tapi dia tidak mau. Dia malah suruh aku foto kakinya saja. Dan pas aku turuti, dia malah nanya, "Kamu ngapain sih..?"
...yang suruh siapa
          “Nanti kalau foto, aku pegang timun, kamu pegang tomat..”
…siap
          Tapi hal itu tidak pernah terjadi.
          Kami hanya foto biasa setelahnya dan posenya aneh semua. Yasuda de..
          Terakhir aku minta tanda tangan di buku Semua Ikan di Langit dan dia berkali-kali nanya namanya siapa. “Namaku siapa?? Oh, Ziggy.”.
...oh biru-biru yang menyebalkan
          “Mau ditulisin apa bukunya?” tanyanya dan aku reflek jawab, “Pokoknya jangan tulis ‘Terserah’ atau ‘Saya mau makan bakso’” kataku waspada. “…makanya kasih tau aku mau ditulisin apa~” dan aku bilang minta motivasi menulis karena aku sedang mogok.. Dan yesh, tidak dikasih tulisan “Terserah” yeeeey..
          Di sela penandatanganan bukuku, tiba-tiba Tante Jia yang duduk di sebelah kak Ziggy bilang, “Saya baca blognya lho..”
          He?
          “Hah?” responku dodol. “Iya saya baca blognya. Bukan saya sih, suami..” katanya.
          Aku masih enggak ngeh sampai ditanyai soal “Apa aku yang satu-satunya yang datang waktu di TSM?” dan aku jawab, “Iya”..
          Untuk sesaat aku shock ketika entah bagaimana caranya ada orang yang baca blogku lalu berhasil mengenaliku di dunia nyata..
..shock..
          Shock dan terharu sih.. Huhu.. Blogku dibaca orang.. Huhu..
          Yak, kembali ke cerita. Setelah dapat tanda tangan kak Ziggy untuk bukuku dan untuk kak Dirga di kertas kosong, aku meminta kak Andika untuk tanda tangan di bagian ucapan terima kasih dan kak Septi tanda tangan di bagian tulisan editor~
          Dan seketika buku ini jadi berharga banget.. Pasalnya udah cetakan pertama, ditanda tangani penulis, editor, serta orang yang disebutkan di bagian ucapan terima kasih.. Huhu keren..

          Hmm.. Mungkin ceritanya sampai sini saja.. Karena tidak ada lagi hal menarik yang bisa diceritakan lagi setelah ini.. Jadi.. sekian dan terima kasih telah membaca~

Kamis, 02 Maret 2017

Sebuah Evolusi

Hari ini, laptopku berevolusi, kawan-kawan.

Setelah sekian lama terjangkiti virus, berbulan-bulan lamanya, dan virus-virus kurang ajar itu membuat blog ini mati suri, akhirnya laptopku berevolusi.

Setelah diback up, laptopku diinstall ulang dan boom! Sekarang aku punya laptop dengan windows 10 yang bebas ads biadab yang berseliweran tiap kali aku konek ke internet.

Rasanya legaaa.. Dan seketika mood untuk menulis yang hilang sejak Febuari awal kembali lagi. Dan laptopku yang selama ini meringkuk dalam diam di dalam tas ranselku dan hanya bikin encok saja karena memberat-beratkan saja. Entah sejak kapan aku mulai meletakannya di rumah. Meninggalkannya sendirian. Sampai tahu-tahu dia basah kuyup. Kukira menangis, tahunya kena bocor.

Aaaaah tapi itu semua telah berlalu. Kini dia telah berevolusi dan kini sedang berbahagia untuk membuatku menjadi orang udik sementara.


Senangnya.. Bisa ngeblog lagi..

Tolong maafkan daku yang kabur lama sekali. Awalnya memang hanya ingin cuti sebulan-tiga bulan.. Namun apa daya ketita laptopku semakin jadi pesakitan begitu.

Apa daku ada perubahan, kawan-kawan? :'3

Secara fisik, mungkin aku agak gendutan. Yha, entah mengapa. Sakit kok malah tambah berat, hehe. Dan, hmm.. selama aku diam saja, tidak menulis apa-apa (di sini), aku tetap memikirkan beberapa hal yang mungkin bisa jadi bahan ngepost. Tapi mungkin sudah terlalu basi untuk dipost.. Yha, kita lihat saja nanti, hohoho..

Hadeh, seriusan deh daku sampai lupa gimana cara ngepost dan lain-lain.. Semoga ke depannya, enggak akan ada lagi virus-virus kurang ajar yang menjangkiti laptopku dan aku bisa terus ngeblog, aamiin..

Sekian, daku mau tidur :"

Sekali lagi, maafkan daku yang pergi lama-lama :""

Jumat, 10 Juni 2016

24 Jam Pertama di LMS

Setelah sebulan lebih akhirnya aku ngepos lagi. Duuuh.. Maaf banget ya. Harusnya 2 minggu setelah post terakhir aku tuh ngepos lagi. Sayangnya begitu aku nyoba nulis post ini, ternyata yang diceritain banyak banget dan post ini mungkin bisa jadi novel tipis deh kayaknya.. Jadi baru selesai sekarang.. Maaf ya sekali lagi eheheheheh..

..Tepat 3 bulan yang lalu..
Kamis, 10 Mei 2016
          Pagi di hari yang amat berkesan telah datang. Jam menunjukkan pukul setengah 6 dan aku sudah terduduk di atas kasurku. Melamun bagaimana hari ini akan berjalan.
          Kalau waktu THEATRE, aku bisa langsung loncat begitu bangun karena aku cuma memikirkan kebahagiaan dan pengalaman seru yang bakal aku dapat 3 hari ke depan. Aku enggak mikirin rentetan lomba yang akan menguras otak dengan ide-ide yang penuh spontanitas. Sekarang, aku lebih mikirin lomba finalnya lusa.
          Sebenernya, aku masih butuh tidur 2 jam lagi karena tadi malam baru tidur jam 12 malam saking kagoknya belajar buat final. Aku dipinjemin buku PKn kelas 8 dan 10 sama Kepala Sekolahku dan buku dari Papaku. Oh iya.. sebenernya aku enggak punya buku PKn lho. Tapi alhamdulillah aku bisa lolos lomba yang temanya termasuk pelajaran PKn. Hehehehe.. Ilmukan bisa didapat dari mana aja.. Enggak harus dari buku, kan?
          Jujur, beberapa hari setelah pengumuman aku sempet kayak orang depresi karena enggak tau mau nulis apa nanti di final. Papaku bilang buat final ide-idenya harus fresh dan kalau bisa enggak ngulang yang ada di naskah seleksi kemarin. Rasanya agak menyesal di surat keduaku itu aku hampir mencurahkan semua pikiranku. Tapi setelah merenung, jambak-jambak rambut, jedotin kepala ke tembok kasur, dan baca-baca buku, akhirnya ada ide baru juga.
          Tapi meski tidurku kurang 2 jam dan gugup banget buat menyambut hari ini, aku harus semangat dan mandi cepat! Yep.. aku kalau mandi bisa setengah jam. Hweheheh..
          Setelah wangi, aku ngecek koperku yang murni kutata sendiri untuk terakhir kalinya. Waktu THEATRE dulu, koperku murni disiapin Mama. Hehehehe..
          Sekarang, aku pake baju THEATRE. Entah, rasanya pengen pake aja. Walau baju THEATRE cuma kaos, cuma dipake di acara-acara tertentu aja. Pokoknya barang-barang dari THEATRE aku simpan rapi di suatu tempat. Terlalu sayang buat dipake (Tepatnya lebih takut rusak, kotor, atau jadi jelek aja sih.. Hehe). Aku cuma pake baju THEATRE 2 kali di luar THEATRE. Pertama di roadshow ARKI, sama sekarang ini.
          Check in dan daftar ulangnya dari jam 8 sampai jam 12. Aku mau ada di sana dari jam 8. Aku diantar Papa ke hotel Posters jam 8 kurang 15.
          Ternyata, Papaku ada keperluan dulu sebentar. Enggak ding.. rasanya lama. Pokoknya kami sampai di Hotel Posters jam setengah 9.
          Di parkiran, aku ketemu kak Nabila dari Jombang. Manusia pertama (kalo Pak Satpam enggak dihitung) yang aku temui di sini. Hohoho..
          Hotel Posters emang enggak semewah Twin Plaza Hotel atau hotel winner camp lomba lain, tapi aku oke-oke aja kok di sini. Setidaknya naik tingkat dari pas THEATRE.
          Sebelum check in, ada seorang cowok yang lagi check in juga. “Nanti sekamar sama Hadi Winata, ya” kata pak resepsionis. Wah? Kak Hadi?? Aku jadi pengen ngikutin cowok itu. Aku penasaran sih sama temennya Om Imim itu. Tapi itu nanti.. Aku harus check in sendiri dulu.
          “Di kamar 212 sama Izza” kata-kata pak resepsionis segera bikin aku deg-degan. Dan ternyata temen sekamarku udah ada di kamar. Aku langsung kebayang wajah Arum sama Intan temen sekamarku pas THEATRE. Enggak sabar..
          Kamar 212 ada di pojok kanan lantai 2. Waktu diketok, dalam waktu sekitar 10 detik, ada seorang cewek berkerudung cokelat yang ngebuka pintunya.. Sebenernya ya, kalau aku enggak gugup-gugup amat atau masih punya pola pikiran yang sama kayak waktu THEATRE, ingin langsung nyapa, “Haiiiii!! Aku Ailsa.. Temen sekamar selama 2 hari ke depan” tapi sayangnya aku gugup dan cuma bisa senyum sambil melambaikan tangan lalu masuk ke kamar dengan kaku.
          Kak Izza dari Jogja dan dari jam 5 shubuh tadi udah sampai di Bandung. Kak Izza kelas 11 dan orangnya baik banget..
          Papa cuma nungguin aku 15 menit aja terus pergi. Enggak kayak pas THEATRE. Mama (Tadi shubuh Mama udah pulang ke rumah di kabupaten buat siap-siap kerja jadi enggak bisa nganter) sama Papa nganterin aku dari rumah ke kantor DAR! Mizan terus masih nganterin sampe ke Wisma Pussenif. Di Wisma, mereka masih nungguin aku sekitar sejam. Malah siangnya balik lagi cuma buat nganterin makanan ringan. Hmm.. mungkin mereka enggak terbiasa ninggalin aku di suatu tempat sampe 3 hari atau agak khawatir aku enggak bisa ditinggalin. Padahal aku udah UN SD waktu itu :v
          Kamar di sini emang upgrade dari pas THEATRE. 2 kali lebih luas dari Lucid Dream atau bahkan lebih, kamar mandinya di dalam, ada TV, ada AC, stop contactnya banyak jadi nanti enggak perlu rebutan gantian kalau mau ngecas sama kak Izza, dan tempat tidurnya double bed dan sepertinya lebih nyaman(?).
          Hmm.. Aku menyadari sesuatu.. Hidup ini tuh kayak naik tangga. Bertahap. Kalau mau ngelangkahin satu anak tangga atau bahkan pengen langsung ke puncak, itu susah. Acara-acara winner camp yang aku enggak berhasil lolos itu, mewah-mewah banget. Kayaknya agak aneh deh kalau tiba-tiba aku yang awalnya cuma bisa ada di Wisma Pussenif THEATRE, jadi ada di sana. LMS ini anak tangga kedua. Sekarang masih di Bandung tapi di hotel dan sekarang gratis. Gratis sih.. tapi perjuangannya berat buat ada di sini.. Hwehehehe..
          Aku sama kak Izza sempet ada di masa canggung 30 menit pertama. Mungkin kami mulai akrab pas aku ngeluarin buku-buku yang aku bawa buat ditanda tanganin nanti.
          Jadi aku bawa 1 koper isi baju-baju dan 1 ransel isi keperluan final ditambah buku-buku. Aku bawa 5 bukunya Tere Liye, 2 bukunya Habiburrahman El-Shirazy punya Papa, 5 bukunya kak Thia, sama 1 bukuku buat dikasih ke Ridwan Kamil (Udah janji dari dulu-dulu buat ngasih bukuku ke anaknya. Tapi baru bisa ketemunya sekarang). Sebenernya buku Tere Liye yang aku punya ada 9, tapi cuma bawa 5. Yang berkesan aja. Bawa semuanya cuma bikin encok aja.
          “Aku bawa buku buat ditanda tanganin finalis juga” ujarku sambil ngeluarin buku-bukunya kak Thia. “Namanya Thia” lanjutku lagi. “Jangan bilang yang tadi di bawah..” gumam kak Izza. Hwat!? Kak Thia udah ada di sini??
          “Yang ini bukan??” aku langsung nyodorin fotonya kak Thia di sampul belakang salah satu bukunya. 5 detik menganalisa, kak Izza langsung berseru, “IYA!! IYA YANG INI!!”. WAAAAH?? KAK THIA UDAH DI SINI!! HWAAAAAA!! UAHSDASHIUAH9OAHOSHOASF YEEEEE!! “Iya.. Yang pake baju putih” ujarnya lagi.
          Saat asyik-asyiknya ngobrolin soal buku, ada seseorang yang mengetuk pintu kamar kami. Saat dibuka, ternyata panitia yang menyuruh kami turun ke bawah untuk menukar tiket trasnportasi.
          Di bawah, udah banyak finalis lain. Tadi aku sempet berdiri di sebelah cowok dengan baju seragam SMA yang badannya gede banget. Gede kayak binaragawan dan aku takut sama dia :v. Kalau dia enggak pake seragam SMA, mungkin aku bakal ngira kakak itu body guard :v. Hweheheh.. Itu kak Ian. Dari SMA Krida Nusantara Bandung.
          Oh iya, tadi aku dikasih tau kalo orang Bandung ada penggantian uang tranportasi lokal. Tapi nanti di gedung. Gedung apa, ya? Di poster lombanya dulukan di Balaikota, di poster pengumumannya cuma ditulis, “Di Kota Bandung”. Hmm..Entahlah. Enggak bisa nebak-nebak.
          Setelah kak Izza nuker tiket keretanya, kami dikasih kertas berisi run down acara yang sedikit berbeda dengan yang ada di surat pemanggilan finalis berserta nama-nama finalis dan kamarnya. Tapi.. Aku sama kak Izza ditulis di sini ada di kamar 211. Harusnyakan 212.
          Pas lagi bingung soal masalah kamar kami, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Seseorang berbaju putih menuruninya. “Itu dia!” seru kak Izza. Aku segera menoleh ke arah tangga dan menangkap sosok kak Thia yang sedang berjalan ke arah kami.
          UWOOOOH!!! OAHOASHFOAUHFUOASHOUAH!!! ITU KAK THIA WOIII!! ASLIIIIII WIIIII!! Kuguncang tubuhnya kak Izza (Karena ngeguncang tubuhku sendiri susah buat nyadarin ini real atau fake). Aku segera menyiapkan diri untuk menyapa.
          “KAK THIIIAAAAAAAA” aku melambaikan tanganku tinggi-tinggi  sambil memperlihatkan raut wajah bahagia. Kak Thia yang asalnya raut wajahnya biasa aja, kini menatapku bingung sambil patah-patah melambaikan tangannya. “Eh? Ha-i?” balasnya..
          WAAAAA!! HFUSAHFSIUFHIDAUHFIAUKGFAUK!!
          “Aku bawa bukunya kak Thia 5!” seruku bahagia padanya. Raut wajahnya yang asalnya bingung, tiba-tiba berubah menjadi raut wajah tidak percaya dan mulai ketawa-ketawa.
          “Nanti tanda tangan ya” ujarku lagi dan kak Thia mengangguk sambil masih ketawa.
          “Namanya siapa?” akhirnya, setelah tenang dari tawanya, kak Thia bertanya soal namaku. “Ailsa” balasku pendek dan kamipun bersalaman. “Ooh.. Yang Hachimi & Hachiko itu, ya? Tante ngedit naskahnya” ujar Mamanya kak Thia, Tante Shinta Handini. Kerenkan? Ketemu penulis KKPK favoritku sekaligus editor cerpenku. Hwohohohohho..
          Setelah kak Thia menukar tiket transportasinya, kami berempat pergi ke kamar 212. Sebelum ke kamar, kami sempat foto-foto dulu bertiga.

          Di kamar, sambil ngeliatin  kak Thia nanda tanganin bukunya, kami saling cerita-cerita. Aku cerita dulu aku pernah dibully gara-gara enggak punya buku KKPK. Dulu aku cuma punya novelnya Tere Liye yang Hafalan Sholat Delisa. Bukan cuma aku yang dibully, bukunya Tere Liye juga diejek-ejek. “Apaan itu? Udah tebel, enggak ada gambarnya, kertasnya kuning lagi!” kutirukan perkataan temanku dulu. Denger hal itu, kak Thia langsung ketawa. Karena katanya buku-buku di luar negeri itu bagus karena kertasnya kuning. Kertas kuning enggak mantulin cahaya. Sekarang, aku tau kenapa kak Thia ketawa dan sekarang aku ikutan ngakak juga.
          Setelah lumayan lama cerita-cerita, kak Thia harus balik ke kamarnya buat ngelakuin sesuatu. “Nanti aku ke sini lagi deh. Nanti aku ketok ya” katanya.
          Oh iya, tadi kata kak Izza dia disuruh pake seragam sekolah. Laaah??? Terus aku gimana dong?? Akukan homeschool dan enggak punya seragam. Pas ditanya ke panitia, katanya enggak apa-apa. Pakai baju formal aja. Huft.. lega.. untung aku bawa baju berkerah. Jadi aku ganti baju THEATREku yang kaos ini sama baju itu. Kalau kak Izza udah rapih dengan baju seragam sekolahnya.
          Selang beberapa lama, ada yang ngetok pintu kami lagi. Saat kubuka, ternyata bukan kak Thia. Kak Izza langsung menyapanya. Namanya Sekar. Kak Sekar dari Jogja juga dan tadi segerbong sama kak Izza.
          “Kalian ngerasa enggak sih kalau hotelnya agak nyeremin?? Tadi aku denger suara ‘Kletek-kletek’ di kamar. Ternyata dari ACnya” curhat kak Sekar. Emang sih, hotel ini emang agak nyeremin. Kayaknya lebih serem ini dari pada Lucid Dream. Tapi masih sereman Pos Fantasteen sih (Pastinya).
          “Loh?? Emang enggak ada temen sekamarnya?” tanyaku. “Enggak ada” jawab kak Sekar. “Oh.. yaudah.. nanti kita bertiga aja di sini. Taruh extra bed di sini” aku nunjuk lantai di bawah kasurku sama kak Izza. “Enggak bisa.. Soalnya nanti malem jam 7 aku udah pulang ke Jogja” Oh. Eh!? Hwat!?
          Ternyata kak Sekar udah harus pulang malam ini juga karena ada konser biola besoknya. Acara ini awalnya tanggal 9-10 Maret. Tapi diundur jadi 10-11 Maret. Emang keliatannya enggak parah-parah amat mundurnya. Tapi dampaknya besar buat kak Sekar. Kalau enggak diundur, dia bisa ikut acara ini full sekaligus konser. Sekarang jadinya ikut pelatihannya aja terus besok konser. Katanya konsernya udah dipersiapin sejak 6 bulan yang lalu. Kalau acara inikan baru 3 bulananlah, ya.
          Sekarang udah jam 11.30. Kami harus turun ke bawah buat makan siang.
          Sebelum turun, aku ngetok kamarnya kak Thia. Tapi enggak berani kenceng-kenceng karena enggak terlalu yakin ini kamarnya kak Thia atau bukan.
          Bukannya kamar yang kuketok yang kebuka, malah pintu sebelah yang kebuka. Bukannya awkward, aku, kak Sekar, sama kak Izza malah antusias datengin yang buka pintu. Itu kak Amel. Dari Pinrang.
          Kak Thia ngebuka pintunya di sela-sela perkenalan kami sama kak Amel (Pokoknya, semua yang ada di sini itu kakak-kakak kecuali 2 orang lagi yang katanya SMP juga. Kakak-kakak everywhere~), kak Thia ngebuka pintunya dan langsung kenalan sama kak Sekar dan kak Amel.
          Kata Kak Thia, dia nanti nyusul makan siang ke bawah karena masih ada urusan di kamarnya. Jadi kami berempat tanpa kak Thia turun ke bawah buat makan siang.
          Di ruang makan udah lumayan rame. Wew.. masih banyak yang belum kenal.
          Makan siang kami nasi kotak. Ada banyak lauknya. Sayangnya aku enggak terlalu antusias buat makan meski tadi pagi enggak sempet sarapan. Aku cuma makan ayam goreng sama nasi setengah. Aku naruh bungkus lauk-lauk lainnya yang enggak kumakan di luar kotakku. Berharap ada yang masih lapar dan ngambil jatahku. Tapi yang laku cuma mie gorengku. Diambil kak Sekar.
          Kak Thia datang sekitar 5 menit kemudian..
          Saat kami sedang asyik-asyiknya makan, salah seorang panitia bernama Pak Rachmat menyusun nametag-nametag kami di atas meja di belakang kami.
          Nametagnya keren.. Tapi sayangnya namaku salah.. Hiks.
          Setelah kami makan, grup meja sebelah datengin meja kami buat kenalan. Ada kak Yumna dari Bandung, kak Ahsani dari Garut, Alfi dari Solo (Satu-satunya di saat itu yang enggak kupanggil pake “Kak” karena sama-sama kelas 8 juga), dan Kak Nadia dari Jakarta.. Begitu denger dia ngenalin diri sebagai “Nadia”, aku langsung inget waktu telponan sama Sulthan. “Temennya Sulthan, ya?” tanyaku, “Iya..” ujarnya.. Hwee.. ketemu temennya temen :3

          Perkenalan kami harus tertunda sebentar karena kami harus segera siap-siap pergi ke gedung buat pelatihan. Aku bawa ranselku yang isinya bukunya Tere Liye sama Habiburrahman El-Shirazy. Buku-buku kak Thia sama bukuku kutinggal di kamar. Walau cuma segini, tetep encok euy bawanya..
          Untuk tranportasi ke gedungnya, disediakan 2 mobil elf atau apalah namanya untuk finalis. Aku entah naik yang mana (Soalnya enggak ada pembagian kloter kayak pas THEATRE). Pokoknya, orang-orang di mejaku sama meja sebelah yang dateng buat kenalan, ada di sini. Eh tapi kak Thia enggak ada di sini soalnya kalau enggak salah kak Thia naik mobil panitia sama tante Shinta.
          Aku sebaris sama kak Nadia dan Alfi. “Ya Allah.. aku berada di antara anak kelas 8..” gumam kak Nadia. Hwehehehehh.. berasa tua, ya, hwahahahahah!
          “Kamu lahirnya kapan?” tanyaku ke Alfi. “23 Maret..” katanya. “Wah mudaan aku” ujarku lagi. Walau Alfi lebih tua, badannya kecil banget. Imut..
          Di barisan-barisan depan pokoknya cowok-cowok dan mereka hening banget. Sementara aku dan kakak-kakak di belakang berisik.
          Keren. Baru beberapa menit kenal udah bisa heboh gini. Kak Ahsani tuh.. heboh.
          Sebenernya.. Finalis di sini cenderung kalem-kalem. Yang heboh itu aku, kak Ahsani, kak Nadia, sama kak Thia. Yang lain diem aja :v.
          Ternyata, gedung yang dimaksud itu Graha Pos di Jalan Banda. Dulu aku pernah ke sini, tapi cuma di sekitaran lantai 1 aja. Acaranya ada di lantai 8. Wiiih.. deg-degan.. AKU SEMANGAT BANGEET OUFGSAUDGASUIGASFUI!!
          Kereeeeen.. Uuuuu kereeeeeen..
          Ruangan tempat latihan kami ini, meja-mejanya disusun menjadi huruf U. Enggak kayak THEATRE yang meja-mejanya di susun kayak di kelas biasa.

          Di atas meja, ada permen, botol air mineral, sama goody bag berisi 2 pulpen (1 biasa, 1 pulpen bagus :3), note, gantungan kunci Pos Indonesia, sama beberapa brosur yang isinya pelayanan-pelayanan Pos Indonesia. Kereeeen.. Uuuu..
          Karena tadi naik liftnya kloter kedua, udah banyak kursi diisi. Tapi orang-orangnya lagi sholat ke bawah (Aku lagi enggak sholat).
          Aku ngeliat kursi di sebelah kak Izza kosong. Tapi di sebelah kursi kosong tadi ada orang. “Kok enggak di sini?” tanyaku. “Enggak ah. Kakinya nanti kena itu” tangan kakak itu nunjuk kaki meja di depan kursi kosong. “Ooh..” kirain apa.
          Akhirnya aku duduk di situ. Tadi itu kak Zaza dari Palu. “Kenapa enggak Martil aja namanya (kotanya)??” candaku. “Martil..” aku berlagak memaku meja dengan palu dari imajinasiku. “Martil..” ulangku. Dan kuulang, ulang, ulang, dan ulang seterusnya.
          Tak lama, seorang cowok yang tadi pagi check in sebelum aku dan sekamar sama kak Hadi, datengin kak Zaza. “Yang namanya Hadi, mana sih?” tanyaku lagi untuk kesekian kalinya ke dia. “Belum dateng. Kenapa sih dari tadi nanya-nanya terus??” hmm.. Penasaran aja sih. “Cuma mau nyampein salam dari temenku yang temennya juga. Padahal merekakan sekota” eheheheh.. Sebenernya sih, Om Imim enggak minta disampein salam. Tapi gimana jawabnya? Jawab “Cuma penasaran” agak aneh..
          Itu kak Rifli. Dari Palu juga. “Martil” aku maku meja pake palu imajinasi lagi. Kak Rifli cuma bengong. “Tadi dia nanya kenapa nama kotanya enggak ‘Martil’ aja?” jelas kak Zaza. “Hah?” aih. Masih enggak ngerti juga. Ah sudahlah.
          Di luar ada sebuah papan yang bertuliskan “PENGANUGRAHAN PEMENANG LOMBA MENULIS SURAT GENERASIKU MELAWAN KORUPSI”. Tadi aku sama kak Nadia sempet foto-foto di sana. Sekarang, kami difoto satu-satu buat dijadiin prangko prisma. Terakhir, kami foto bersama. Tapi sekarang ini belum semua finalis hadir. Kak Hadikan masih belum dateng.

Entah ini trio apaan.. Hweeheheheh :v
          Setelah semua finalis masuk lagi ke ruangan, acara inipun resmi dibuka.
          “Jadi serius banget gini..” bisik kak Izza. Iya sih.. Mendadak semua diam dan hening. Dan mungkin akan begini terus sampe nanti jam 8 malam.

          “Dari 4.557 surat yang masuk, diperes jadi 200, diperes lagi jadi 30. Hasilnya adik-adik yang ada di sini” ujar Pak Agung, ketua panitia. Ya Allah.. Kalau aku seperti biasa enggak lolos lagi, pasti aku ada di rumah sekarang dan enggak tahu apapun yang terjadi di sini. Tapi aku di sini, dan menyaksikannya sendiri. Aku. Di sini. Aku terharuuuuu huhuhuhu :’v
          “Dan di sini didominasi oleh perempuan, ya. Mungkin nanti yang jadi ketua KPK perempuan..” katanya lagi. Di sini cowoknya cuma 8. Tapi kok aku cuma ngitung 5 ya pas liat pengumuman finalis? Atau 6 kalo yang namanya Pebri itu cowok (Dan dia ternyata cowok). Jadi.. siapa 2 lagi yang enggak aku itung sebagai cowok?? Tapi di LMS ini mending sih. LWC 1 sama 2 cowoknya cuma 5. Kayaknya sih, penulis cowok itu emang langka. *Menyiapkan jaring buat nangkep penulis cowok* *Eh, enggak ding* *Kejam amat*.
          Pokoknya bapak Panitia cerita soal proses dari lombanya dibuka sampe proses penjurian. Katanya ada surat-surat yang malah nyasar ke KPK. Waktu awal-awal, yang ngirim sedikit banget. Dikirain korupsi udah mengakar sampe ke generasi muda.. Tapi untungnya enggak ya. Terbukti dengan total akhirnya ada 4.557 surat yang masuk. Sampe sekarang aku masih mikir gimana caranya nyeleksi surat sebanyak itu dan nentuin mana yang bagus. Kan bisa lupa saking banyaknya.
          Mbak Gina, udah memasuki ruangan sejak acaranya belum dibuka. Aku jadi  deg-degan lagi.
          Mbak Gina akan mengajar kami soal menulis skenario. Mbak Gina itu script writer Ayat-Ayat Cinta, Filosofi Kopi, Habibie & Ainun, dan sejumlah film-film ngetop Tanah Air lainnya.

          Aku enggak terlalu ingat bagaimana Mbak Gina membuka pelajarannya. Tapi yang jelas, Mbak Gina cerita soal sejarah singkat film. Kata Mbak Gina, film adalah salah satu medium bercerita. Kemudian dia kemudian memutarkan film atau gambar bergerak pertama di dunia dari Lumierre Brother; Arrival Of A Train At La Ciotat.

          Jadi dulu, orang yang mau melihat film ini harus membayar mahal. Tapi begitu filmnya dimulai, mereka pada lari ketakutan ke luar. “Bayangkan. Orang yang pada waktu itu hanya mengenal foto, tiba-tiba ngeliat kereta yang dateng ke arah mereka dari layar yang besar”. Awalnya dengernya lucu, tapi kalo menempatkan diriku kayak gitu, emang serem sih..
          Terus Mbak Gina muterin film Charlie Chaplin yang merupakan film bisu.  Aku tau episode yang ini karena dulu pernah ada isu kalo difilmnya ada orang dari masa depan.
          Ceritanya memang enggak pakai dialog. Tapi kami tetep ngerti. Kata Mbak Gina, cerita adalah karakter yang tumbuh dalam perubahan.
          Ada yang namanya premis. Premis adalah seseorang atau kelompok yang sangat ingin sesuatu tapi mengalami kesulitan dalam prosesnya.
          Di film Charlie Chaplin itu, dia sedang lari dari sesuatu dan akhirnya menemukan tempat bersembunyi. Tapi ternyata, tempat sembunyinya itu kandang singa. Untungnya singanya lagi tidur. Dia nyoba buka pintunya dari dalem tapi enggak bisa. Malah dia ngunci dirinya sendiri di situ. Ada banyak hambatan saat dia mau keluar. Dia berusaha enggak bikin suara biar singanya enggak bangun, tapi tiba-tiba ada anjing yang dateng terus gonggongin dia. Akhirnya, ada seorang wanita yang dateng dan ngebukain pintunya.
          Mbak Gina mempersilahkan beberapa orang untuk menceritakan premisnya. Banyak yang mengacungkan tangan dan jawabannya kebanyakan sama. Artinya, walau filmnya tanpa dialog, kami tetap bisa ngerti atau dapat premis yang ada di film itu.
          Sekarang kami diminta berpasang-pasangan sama teman di sebelah kami untuk menjadi satu tim. Kami akan jadi nenek dan kakek di panti jompo. Kisahnya, sang kakek suka sama sang nenek tapi malu-malu. Kami enggak boleh pake dialog nanti tapi kami harus memperlihatkan kalo sang kakek sedang jatuh cinta atau suka sama si nenek bagaimanapun caranya.
          Aku setim sama kak Izza dan aku yang jadi kakeknya. Cerita kami, neneknya awalnya diam aja. Tiba-tiba si nenek jatuhin botol minumannya dan  si kakek akan mengambilkannya untuk nenek. Dan disitulah mereka saling bertatapan dan saling senyum-senyum tak jelas bagai ABG yang melihat cinta pertamanya. Hwahahahaha..
          Tapi kami enggak maju ke depan karena telat ngacungin tangan. Semua yang maju, mukanya datar-datar tanpa ekspresi tapi dari gerakannya lumayan bisa dimengerti. Dan walau mukanya datar-datar, banyak yang lucu juga. Ada tim cowok yang maju dan yang jadi nenek lumayan menjiwai. Aku ngakaknya karena.. Menjiwai banget jadi seorang cewek atau nenek gitu.. Adeeh hahahahahha..
          Lanjut ke materi. Komposisi cerita itu adalah Karakter – Hambatan – Tujuan. Jadi di awal adalah pengenalan tokoh, lalu hambatannya, lalu tujuannya. Atau bisa juga Rutinitas – Hambatan 1 – Hambatan Selanjutnya. Hambatan itu, di dalam film juga bisa jadi disebut Babak 1, Babak 2, Babak 3.
          Mbak Gina kembali memutarkan film.
          Kali ini film dari Indonesia, sudah berwarna, dan berdialog. Filmnya bercerita tentang gempa Jogja yang terjadi beberapa hari sebelum UN SD dan beberapa hari sebelum Piala Dunia.
          Di awal, ada suara seorang anak yang sedang belajar tentang sejarah penjajahan Jepang. Di dinding rumahnya, dia menggambar tank yang sedang menembakkan misil ke arah bendera Jepang. Suara dari TV menemaninya menggambar di dinding. Suara dan gambar di TV yang asalnya jernih, tiba-tiba mulai tak jelas. Suara gemuruh mulai terdengar dan jatuhan-jatuhan puing-puing bangunan menimpa TV yang hanya menampilkan gambar statis. Kamera tak beranjak dari TV itu hingga akhirnya suasana di sekitar TV itu menjadi pagi (asalnya malam).
          Di antara puing-puing bangunan, anak tadi mengambil buku di antara reruntuhan puing-puing dan mulai membaca lanjutan sejarah penjajahan Jepang.
          Anak itu sekarang tinggal di dalam kardus. Lama kelamaan dia mengantuk dan akhirnya tertidur. Tapi kardusnya yang tidak kuat menahan beban tubuhnya, terguling ke samping. Saat sang anak membuka mata, dilihatnya orang-orang yang sedang mendirikan tenda. Saat diperhatikan, salah satu dari mereka menancapkan bendera Jepang.
          Sang anak terus memperhatikan gerak-gerik orang-orang itu. Beberapa dari mereka mengangkut jasad dan memasukannya ke kantong jasad.
          Malamnya, sang anak memasuki tenda orang Jepang tersebut dan menemukan peta Jogja dengan titik-titik merah di banyak daerah.
          Besoknya, sang anak kembali memata-matai orang Jepang yang kemarin. Tapi karena ceroboh, ia menimbulkan suara dan salah satu orang Jepang datang ke arahnya. Sebelum orang Jepang tadi menemukannya, dia sudah sempat pergi menjauh sedikit. Orang Jepang tadi tetap melihat sekitar sambil berjalan mundur sampai akhirnya punggungnya menabrak punggung anak yang tadi.
          Mereka berdua sama-sama kaget dan berteriak. Anak itu langsung mengacungkan ketapel. Daripada diketapel, orang Jepang itupun lari dan sang anak terus mengejarnya sampai akhirnya orang Jepangnya kecebur di sungai.
          Dalam bahasa ibu masing-masing, dua-duanya berkomunikasi meski enggak nyambung.
          Akhirnya, Orang Jepang berserta temannya membereskan tendanya dan pergi. Sebelum pergi, orang Jepang yang nyebur ke sungai tadi, meninggalkan sebuah baju jersey untuk anak itu. Saat orang-orang itu sudah jauh, sang anak berteriak “Merdekaa!! Merdekaa!!” dan mengibarkan sang merah putih di sebuah tiang.
          Scene selanjutnya, UN berlangsung di tenda darurat. Saat keluar, sang anak bertemu lagi dengan orang Jepang yang kemarin. Namun di belakangnya, muncul banyak orang Jepang lainnya. Sang anak yang tadi asalnya mau marah lagi seperti kemarin, sekarang lari sambil berteriak, “Koe bawa konco!!” atau yang artinya “Kamu bawa temen!!”. Filmnya sampai di sini saja.
          Mbak Gina menanyakan pada kami di mana babak 1, 2, dan 3nya. Banyak yang menjawab termasuk aku yang bilang babak 1 sampai TVnya yang rusak itu. Namun babak 1 yang benar itu dari awal sang anak membaca sejarah penjajahan Jepang sampai dia masuk ke dalam kardus. Babak 2 dari kardusnya jatuh sampai mengibarkan bendera. Babak 3 suasana UN di dalam tenda darurat sampai sang anak lari karena ternyata orang Jepangnya bawa konco.
          Sekarang kami juga masih ditanyai soal premisnya. Premisnya sang anak mengira orang Jepang itu berbuat jahat. Diperkuat lagi dengan mereka ngangkutin jasad-jasad dan peta dengan banyak tanda merah. Awalnya dia hanya memata-matai sambil bersembunyi karena dia enggak bisa datengin dan langsung ngehajar orang Jepangnya karena dia cuma sendirian dan badannya kecil. “Beda lagikan kalo misalnya sang anak itu udah SMA misalnya” kata Mbak Gina.
          “Tapikan kalo SMA bakalan tau kalo orang Jepangnya itu bantuin” bisikku ke kak Izza. “Yaudahlah.. Enggakpapa” kata kak Izza. Tapi.. itu apa-apa.. Kalo si anak jadi anak SMA pada saat itu dan ngira orang Jepangnya penjajah, kayaknya enggak logis deh jadinya.
          Oh iya, waktu sang anak melanjutkan membaca setelah gempa, diputar video ketika Jepang menghancurkan bangunan-bangunan di Indonesia dengan latar suaranya yang sedang membaca. Dan waktu orang Jepangnya kecebur, sang anak bilang, “Koe bunuh bapakku!!”. Jadi aku menangkap kalau sang anak mengira kerusakan akibat gempa ini pelakunya itu orang Jepang, bukan karena gempa.
          Sekarang ada game nih. Di layar ada 4 gambar. Gambar pertama ada seorang cewek di bandara, lalu ada peta, gambar 2 orang naik motor dan terakhir secangkir kopi.
          Banyak yang ngacung dan semua ceritanya beda. Ceritaku sih, ada seorang perempuan yang datang dari jauh, lalu dia mencari tempat tujuannya di peta dan dengan ojek dia pergi ke sebuah warung kopi. Jadi dia datang dari jauh cuma buat mencicipi kopi di situ.
          Gambar terakhir diganti jadi pemandangan perbukitan. Ada yang bilang si cewek itu enggak direstui sama pacarnya dan akhirnya kabur ke tempat pacarnya. Dia akhirnya ketemu sama pacarnya dan dibonceng naik motor. Tempatnya di perbukitan karena si ceweknya ternyata lagi diculik sama pacarnya. YAEYALAH GAK DIRESTUI ORANG SI COWOK ITU PECULIK... *gregetan* *emosi*.
          Gambar terakhir diganti lagi jadi garis kuning polisi. Ada yang bilang perempuan itu detektif dan menyelediki pembunuhan dan lain sebagainya. Aku sih waktu itu bilang kalau si cewek itu dapat kabar kalau ada salah satu anggota keluarganya dibunuh. Yea.. ah skip ajalah.
          Gambar terakhir diganti lagi untuk kesekian kalinya jadi seorang pria dengan baju pink. Aku udah enggak tertarik lagi bikin cerita. Tapi awalnya aku kira gambar cowok itu kayak hasil print-an foto dari printer yang tintanya udah habis. Aku baru nyadar kalau sebenernya itu cowok yang pake baju serba pink ketika dengerin cerita yang lain. Tapi begitu aku mau ngacung buat nyeritain sudut pandangku, udah ditutup sesi berceritanya. Hiks sedih :’v.
          Kata Mbak Gina, membuat skenario film itu harus menuliskan sesuatu  yang tidak basa atau out of the box idenya. “Ada seorang ayah yang kehilangan anaknya karena diculik seseorang dan yang bisa membantunya hanyalah seorang wanita yang mempunyai short-term memmory. Film apa yang kalian pikirkan?” dan kami semua serentak bilang “Finding Nemo”. Aku segera kepikiran itu karena kemarin waktu belajar kebetulan lagi diputerin tuh di TV.
          “Yang berbeda dari film Finding Nemo adalah ini ikan. Sayakan tadi enggak bilang kalau ini ikankan?” dan dari omongannya Mbak Gina ini aku baru sadar kalau Finding Nemo itu out of the boxnya bisa dikatakan keren :v.
          Saat menulis skenario, kita harus menuliskan penggambaran “Apa yang dilakukan si Tokoh” dengan spesifik. Tidak seperti “Andi menangis”. Tapi bisa seperti “Andi menangis sambil memukul-mukul meja” dan sebagainya. Biar nanti sutradara gampang mengarahkan aktor-aktornya. Karena skenario film bukanlah karya akhir seperti cerpen atau novel.
          Mbak Gina kembali memutarkan video. “Ini nominasi favorit saya di Oscar” katanya. Nominasi script terbaik atau.. apa ya aku lupa namanya. Pokoknya soal itu.
          Kemarin setelah Finding Nemo-nya habis, aku nonton Oscar juga :v. Kok bisa kebetulan gini ya? Yang aku tonton kemarin dibahas di sini.. Keren..
          Waktu nominasi-nominasinya diputar, ada sedikit cuplikan film dan tulisan scriptnya. Di sana ada tulisan kayak “EXT” atau “INT”. Nah untuk menggambarkan latar, bisa dipakai kayak gini. Minimal kayak gini; Ext buat latar di luar ruangan dan Int buat di dalam ruangan. Bisa ditambahin kayak di taman, di ruangan dengan bata merah dan lain-lain.
          Prinsip utama dalam membuat script film itu ada “Show Don’t Tell”. Pokoknya harus ada sesuatu yang tak terduga di dalam film itu. Kayak misalnya film soal gempa Jogja tadi. Sesuatu yang tak terduganya mungkin.. waktu orang Jepangnya mundur dan akhirnya punggungnya tabrakan sama anak kecilnya. Itu cukup bikin kagetkan dan tak terduga :v..

          Untuk menulis skenario film, harus tahu bahasa perfilman dan genre film. Mbak Gina nunjukin ke kami nama-nama.. hmm.. frame? Apa sih ya? Pokoknya pengambilan gambarnya itu ada  yang dari jauh, terus ada yang lebih dekat. Pokoknya terus ngezoom sampe yang paling deket itu cuma setengah wajah. Pokoknya semuanya ada nama-namanya tapi aku enggak ada yang inget. Genre film ada yang horror, commedy, romance, dan banyak lagi.
          “Kalau ingin jadi penulis skenario, sering-sering nonton film!” kata Mbak Gina sebagai penutup sesi pelatihan ini.
          Dan.. Mohon maaf ya kalau bagian ini kurang jelas karena aku enggak begitu tertarik sama skenario film jadi enggak begitu banyak yang nyangkut.. Heheheh..
          Selesai materi pertama dari Mbak Gina, kami foto bersama dulu sama kak Gina dan habis itu foto bareng berdua dan minta tanda tangannya di buku kami masing-masing.


          Kami istirahat sebentar sebelum masuk ke materi selanjutnya dari Tere Liye. Dari pertengahan materi Mbak Gina, dia sebenernya udah masuk. Jujur dia mecah perhatian kami pas masuk. Kata kak Nadia, orang di kanan sama kirinya langsung nyengkrem dia keras-keras begitu Bang Tere masuk. Weee banyak fansnya :v. Tapi aku entah mengapa meskipun dalam hati seneng akhirnya kesampaian juga ketemu dia, cuma diem aja.
          Waktu istirahat ini kami harus foto lagi buat prangko prismanya karena yang tadi hasilnya kurang bagus. Kami juga dapat snack tapi aku sama sekali enggak makan snacknya entah kenapa. Masih enggak nafsu makan.
          Pas aku masuk ke kelas lagi, banyak banget yang ngerubutin Bang Tere. Ternyata pada ngantri minta tanda tangan. Weeee aku ketinggalan..
          Aku cepet-cepet ngambil bukunya dan ngantri buat tanda tangan.
          Aku nyiapin dua pulpen. Satu pulpen yang biasa kupake buat tanda tangan (Buat tanda tangan berkas-berkas sama bukuku hweheheheh) sama satu pulpen yang tintanya enggak keliatan (Bisa keliatan kalau disorot lampu dari tutup pulpennya).
          “Eh siapa ini yang bawa?” dia kaget pas aku naruh 5 bukunya di meja. “Aku” aku bales datar dengan muka tak bersalah. “Namamu siapa? Yang mana ini?” tanya Bang Tere. “Ailsa”. Dia nyarinya lumayan lama karena mungkin enggak nemuin namaku di situ. “Yang mana?” dia nyodorin kertas nama-nama finalis. “Nomor 19 yang typo jadi Alisa” aku nunjuk nomor 19 di kertas yang dia pegang. “Ooh.. typo ya??” tanyanya. Hiks T-T..
          “Salam dari Narid Sulthan Maulana” gumamku. “Siapa itu?” tanyanya. “Dia lolos LWC 1 sama 2” kataku lagi. “Hah?? Di sini gak lolos?” kata seorang bapak di sebelah Tere Liye. “Enggak..”. “Terus kemarin kamu lolos enggak?”. “Enggak” :v. Yea gantian haha..
          Banyak yang nyampein salam juga. Ada dari temennya, keluarganya. “Nanti kalau ada yang nanya Tere Liye itu gimana orangnya, bilangin kalau Tere Liye itu ternyata orangnya nyebelin” kata Bang Tere. Seriusan. Orang ini emang nyeeeeeeebeeeeeeliiiiiiiiiiiiin  ashfapisfdpisgfbiusjk hiasgd8iuAGSOFILK. Kesel. Nanti aku ceritain kenapa dia nyebelin.
          Judul buku Tere Liye yang kubawa itu Hafalan Sholat Delisa, Bumi, Bulan, Rindu, sama Hujan. Rindu sama Hujan baru kubeli kemarin dan bahkan belum sempat kubaca. Buku Rindu itu buat seseorang dan pulpen yang tintanya enggak keliatan itu buat nulis namanya di situ. Aku beli buku Hujan dan pengen bukunya ditanda tanganin karena pas aku lagi nulis naskah dan pas nungguin finalnya sering hujan. Buat kenang-kenangan aja sih.
          Setelah selesai, aku segera balik ke kursiku dan beresin isi tempat pensilku yang berserakan pas tadi aku ngambil pulpen. Bang Tere masih sibuk di sana dengan buku-buku dan tanda tangan.
          Beberapa menit kemudian, Bang Tere maju ke tengah-tengah huruf U meja kami dan mengabsen kami.

          “Alisa?” panggilnya sambil memandang ke seluruh ruangan dan aku angkat tangan dengan malas sambil bilang “Ailsa” dengan wajah kayak mau nangis. “Oh iya. Kamu salah ketik ya di sini”.
          “Di kelas saya boleh makan, boleh minum, santai aja” perkataannya bikin aku serasa lagi kuliah entah mengapa.
          “Siapkan alat tulisnya.. kita santai aja. Pendamping kalau mau ikutan silahkan”
          “Sekarang tuliskan satu paragraf yang ada kata ‘Hitam’nya” dan pas sampai di kata “Hitam” aku meringis sambil nginget post Kirana di LWC 2 yang bilang kalau di sana juga disuruh nulisin hitam.. Kenapa aku enggak nyiapin dari awaaaal?? Sekarang nulis apa??
          Aku nulisin soal orang yang tunanetra dan yang dilihatnya hanya kegelapan dan hitam. Kayaknya aku nulisnya lemot banget deh. Kakak-kakak yang lain udah selesai nulis dan udah beberapa yang dibacain.
          “Pokoknya saya enggak mau dengar kalau ‘Hitam’ itu warna. Saya juga tau itu warna. Saya gak mau dengar kalau ‘Hitam’ itu gelap, ‘Hitam’ itu malam. Saya, enggak, mau!” waktu dia ngomong ini aku bahkan belum menyelesaikan paragraf percobaan pertamaku dan langsung berhenti karena paragrafku mengandung kegelapan. Heh. Kok jadi gini ya.. Kok aku baru sadar pas aku bilang paragrafku mengandung kegelapan itu terasa horror?? Hmmhh.. Lupakan.
          Aku mulai nulis lagi dan kali ini soal kulit hitam (Kok racist?) yang setahuku menahan sinar matahari dan kulit putih yang menyerap sinar matahari(?). Pokoknya gitulah dan lagi-lagi enggak selesai.
          “Ayo dong.. Bikin sesuatu yang bisa bikin saya ketawa, bikin sesuatu yang gak terpikirkan. Kita seru-seruan di sini”. Jujur, saat itu aku udah mulai frustasi.
          “Bisa aja kayak gini; ‘Amir itu kulitnya hitam, rambutnya hitam, kukunya hitam, wajahnya hitam, giginya hitam, semuanya hitam. Tapi hati Amir putih” Bang Tere memberikan contoh. Dan aku tetep enggak punya ide.
          Ini kesempatan ketiga dan aku nulisin soal gerhana matahari kemarin. Kan mataharinya jadi hitam. Kali ini dibacain tapi responnya Bang Tere agak nyebelin entah mengapa. Jadi selanjutnya aku bikin paragraf yang isinya curhat.
          “Ada yang bikin kayak gini; ‘Hitam itu selalu terlambat, Hitam itu selalu malas, Hitam itu selalu menyebalkan. Hingga suatu hari teman Hitam meninggalkan Hitam dan sejak hari itu pelangi tidak punya warna hitam’” dan contoh yang ini, paling aku suka. Paling keren. Dan, oh ya, Bang Tere itu bacainnya tuh keren. Baca paragraf-paragraf kami juga keren. Kayak baca puisi.
          Paragraf ke-4 aku nulis ini, “Aku bosan. Kehabisan ide. Miskin ide. Aku disuruh nulis hitam lagi, nulis hitam lagi -_-. Bolehkan curhat???” tapi ini aku enggak memberanikan diri buat angkat tangan jadi enggak dibacain.
          Kesempatan ke-5, aku dan yang lain mulai mabok dan pulang-pulang dari sini aku jadi sebel sama hitam.
          Kali ini aku nulis pendek aja. Aku udah pasrah, udah enggak tertarik dengerin lagi Bang Tere bacain paragrafku.
          “Setiap dengar ‘Hitam’, aku ingat kutil, tompel, bulu hidung temanku, dan hati para koruptor”. Dan entah mengapa, sekarang Bang Tere yang asalnya bacain paragrafku menghadap ke aku, sekarang berdiri membelakangiku sambil bacain lagi. “Kasih tepuk tangan” katanya. Tubuhku langsung dingin entah mengapa. Ini.. keren.. kok aku terharu :’v..
          Dan kalau enggak salah, setelah tepuk tangan itu Bang Tere berhenti nyuruh kami nulisin tentang “Hitam”.
          “Topik tulisan bisa apa saja, tapi seorang penulis bisa melihat dengan cara pandang spesial”
          “Seorang penulis harus punya amunisi”
          Sekarang, kami disuruh menulis paragraf dengan kata “Paket Pos”.
          Yang lain langsung nulis. Sementara aku diem aja ngeliatin mereka nulis karena enggak tau mau nulis apa.
          “Kamu udah selesai?” tiba-tiba dia datengin aku. Aku geleng-geleng aja. “Bahkan belum nulis sama sekali?” waktu dia nanya itu aku diem aja. “Masa sih enggak ada ide?” serius deh aku udah mulai kesel waktu itu. “Harusnya ada” katanya dan aku di sini udah kesel banget tapi tetep diem aja. “Ayo dong”. Flease deh, Bapak.. aku teh lagi konsentrasi nyari ide malah digangguin.. -_-
          Begitu dia pergi, aku langsung nulis. Pas dia balik aku udah selesai nulisnya.
          “Katanya enggak ada ide” yeaaa emang. Tapikan tadi. “Tuh ini bisa. Tadi katanya enggak bisa”.
..Siapa bilang..??
          Perasaan aku diem aja deeeeeh.. Tuhkan nyebelin..
          “Seandainya kebahagiaan bisa dikirim lewat paket pos, pastilah dunia ini dipenuhi oleh kurir pos”. Om-om dari pos entah mengapa langsung ketawa dan tepuk tangan. Bang Tere juga tepuk tangan dan yang lain jadi ikutan. Sementara aku di sini bengong ngeliatin mereka.
          Setelah ini, enggak ada lagi nulis-nulis paragraf. Sekarang, banyakan Bang Tere yang cerita-cerita.
          Dulu, Bang Tere menghabiskan masa kecilnya di pedalaman Sumatera. Dulu belum ada gadget seperti sekarang. Apalagi di pedalaman Sumatera. Yang paling menyenangkan bagi anak-anak di sana adalah mendengar cerita. Ayahnya (atau kakeknya) itu canggih banget kalau bercerita.
          “Pada suatu hari, seorang putri diculik oleh seekor naga. Lalu dia diselamatkan oleh Ksatria yang mempunyai batu ajaib”.
          Besoknya, waktu bercerita lagi, ayahnya bercerita hal yang sebenernya sama seperti yang kemarin diceritakan tapi pakai sudut pandang yang berbeda. Misalnya hari ini nyeritain soal putrinya. Besok ksatrianya. Nanti naganya. Habis itu batu ajaibnya.
          Bertahun-tahun kemudian, Bang Tere nonton sebuah film di bioskop. Film Shrek. Dan cerita di film itu sama dengan yang Ayahnya ceritakan. “Bedanya di film Shrek itu, ksatrianya jelek. Putrinya bisa jadi hijau. Shrek 1, Shrek 2, Shrek 3, semuanya laris!”
          Sebenarnya tadi waktu kami 5 kali disuruh nulis 1 paragraf dengan kata “Hitam” di dalamnya tapi tidak boleh soal warna, soal malam, atau gelap itu kami sedang dilatih menulis dengan sudut pandang berbeda..
          Habis itu Bang Tere cerita ada seorang cewek yang juga jadi muridnya dia. Nah, kakak itu bilang ke Bang Tere kalau dia itu punya novel tapi enggak tau gimana mengakhirinya. “Ohohoho.. gampang. Tinggal tulis ‘Tamat’ aja” kata Bang Tere. Kakak itu matanya langsung berkaca-kaca. Marah dia (Yaiyalah :V). Dia udah datang jauh-jauh, bayar (Kalau kami sih gratis hweheheheh :v), pas nanya jawabannya malah gitu.
          Biar kakaknya enggak marah, Bang Tere ceritain kalau sebenernya Hafalan Sholat Delisa itu juga belum selesai.  Sebenernya Bang Tere masih ingin nyeritain ketika Delisanya udah besar dll. Tapi dia juga stuck dan akhirnya nulis “Tamat”. Tapi pas aku liat di bukunya, bukan bener-bener kata “Tamat”. Tapi ada paragraf penutupnya sedikit.
          “Tapi nanti kalau kalian kuliah terus bikin skripsi, jangan begitu enggak tau mau nulisin apa langsung nulis ‘Tamat’ ya. Enggak lulus kalian nanti”.
          “Jadi, kalimat pertama adalah mudah, gaya bahasa adalah kebiasaan, kalimat terakhir lebih mudah lagi”.
          “Kalau kita lapar, kita mungkin bisa berdoa. ‘Ya Allah.. Aku lapar.. Aku ingin bakso’. Tiba-tiba ada yang ketok-ketok. ‘Ini ada bakso dari temen kita yang ulang tahun’. Tapi kalau lagi enggak ada ide, enggak bisa berdoa, ‘Ya Allah.. Aku enggak ada ide untuk nulis.. berikanlah tulisan di komputerku ini Ya Allah..’ terus tiba-tiba ada tulisan muncul gitu. Enggak bisa”.
          “Bisa sajakan kalau enggak tahu mengawalinya gimana, kita bisa tulis, ‘Sekarang aku mau memulai cerita tapi aku enggak tahu mau mengawalinya gimana. Jadi, ceritanya dimulai pada saat..’ Nah. Itukan sudah memulai ceritanya. Nanti kalau sudah ada ide tinggal hapus dan ganti lagi”.
          “Ada bisa karena terbiasa. Jika ingin jadi penulis, tanam bibit sejak hari ini”.
          Setelah kalimat itu, dibuka sesi bertanya.
          Aku sebenernya udah nyiapin bahan pertanyaan dari rumah. Ada 3. Pertanyaannya kayak, “Gimana kalau enggak punya ide?” bla-bla-bla tapi aku enggak jadi nanyain yang itu soalnya dijawabnya pasti.. nyebelin! Jadi aku nanya, “Pernah ada naskah yang ditolak?”.
          Reaksi pertamanya waktu aku tanya ini adalah ketawa kecil. Dia bilang pernah.. “Enggak ada yang langsung diterima, langsung hebat, langsung terkenal” katanya.
          Katanya, Hafalan Sholat Delisa pernah ditolak di satu publishing besar. Alasannya karena mereka sudah pernah menerbitkan 3 buku tentang tsunami Aceh dan mereka enggak mau menerbitkan buku yang enggak laku lagi.
          Coba di publishing lain, ditolak juga. Sampai akhirnya diterima di Republika. Sekarang cetakannya udah berapa banyak dan setiap lebaran filmnya diputer di TV.
          Suatu hari anak perusahaan publishing besar yang kemarin nolak dia, meminta Bang Tere buat pindah ke publishing mereka. Kalau Bang Tere inget betapa sakit hatinya dulu waktu ditolak, pasti jawabnya nyebelin. Tapi enggak. Dia jawabnya, “Maaf, saya sekarang sudah ada di Republika dan Gramedia. Nama saya sudah dibesarkan di 2 publishing itu dan saya tidak ingin pindah”.
          Bang Tere juga pernah ditolak beberapa kali waktu mengirim artikel ke Kompas. Kalau enggak salah, ada 4 alasan kenapa ditolak naskahnya. Yang aku ingat cuma “Artikel anda sangat tidak relevan” sama “Kami tidak tahu di mana menempatkan artikel anda”. Yang kedua ini yang kata Tere Liye paling bikin sakit hati.
          Tapi Bang Tere terus nyoba ngirim dan akhirnya diterima.
          Dengan jawaban Tere Liye ini, aku sadar kalau kegagalan itu bukan hanya milik segelintir orang. Orang-orang hebatpun pasti pernah mengalami kegagalan demi kegagalan sebelum akhirnya ada di puncak kejayaan.
          Setelah aku, ada yang nanya, “Gimana cara bikin kalimat dengan gaya bahasa yang bagus?”
          “Enggak ada”.
..Tuhkan, kalau nanya soal gituan pasti jawabannya nyebelin..
          “Gaya bahasa yang bagus itu enggak ada. Tapi kalau kamu mau cari kalimat yang bagus, kami bisa tukar-tukar tempat kata-katanya. Kaya misalnya, ‘Budi bersama Ibu pergi ke pasar naik angkot’. Jadi, ‘Naik angkot, Budi bersama Ibu ke pasar. Atau bisa juga, ‘Bersama Ibu, Budi naik angkot ke pasar’. Bikin aja beberapa. Nanti tinggal pilih mana yang paling bagus” jawab Bang Tere. Dan sejenak aku mikir seberapa lama ya bikin 1 paragraf kalau kayak gitu?
          Dari Tere Liye ini, aku belajar kalau cara mengawali sebuah cerita yang baik itu enggak ada, gaya bahasa yang bagus itu enggak ada, dan cara menutup sebuah cerita tinggal nulis ‘Tamat’ aja.
          Rasanya itu ya, kayak Po Kungfu Panda. Dia jadi pendekar naga dan boleh membaca gulungan naga yang katanya menyimpan rahasia untuk menjadi kuat. Tapi pas dibuka, isinya kosong. Nah! Itu yang aku rasain!
          Aku ibarat Po dan Bang Tere itu gulungan naganya. Kata orang Bang Tere itu nulisnya hebat (Memang, sih) dan pasti kalau bisa berguru sama dia dan mendengar rahasia-rahasianya waktu menulis, kita juga bakalan jadi hebat karena denger rahasia-rahasianya. Tapi kenyataannya enggak ada yang spesial gitu. Kosong. “Enggak ada yang spesial buat jadi spesial”. Ujung-ujungnya juga balik ke diri sendiri. Ujung-ujungnya untuk jadi hebat itu ya latihan, latihan, dan latihan.
          Pulang dari sana itu aku masih belum ngerti sama sekali Bang Tere itu ngomong apa. Ngajarin apa. Aku enggak nangkep. Walaupun hanya segitu aja, aku enggak bisa ngerti. Dan aku bilang ke diriku sendiri, “Kayaknya aku baru akan ngerti pelajaran Tere Liye hari ini nanti waktu aku udah sehebat dia”.
          Tapi detik ini saat aku nulis postingan blog ini, aku menyadari satu hal. “Gaya bahasa adalah kebiasaan”. Bang Tere tadi bilang kalau gaya bahasa yang bagus itu enggak ada tapi kalau mau nyari kalimat yang bagus bisa dengan cara nukar-nukar kata-katanya sampai ada beberapa pilihan. Aku bilang tadi perlu berapa lama kalau kayak gitu untuk satu paragraf? Dan begitu ingat kata-katanya yang bilang, “Gaya bahasa adalah kebiasaan” adalah maksudnya kita harus terbiasa buat menentukan mana kalimat yang bagus. Caranya? Ya.. dengan terus latihan.. Hehe..
..Oke lanjut lagi ke ceritanya..
          Ada yang nanyain kapan waku tebaik buat nulis dan jawabannya tetep “Enggak ada”. Tapi.. Kata Tere Liye, dia sih suka nulis setiap di perjalanan. Makanya daripada naik pesawat dia lebih suka naik kereta karena waktunya lebih lama.
          Dia pernah punya pengalaman waktu dia lagi nulis di pesawat, orang di sebelahnya baca buku Hafalan Sholat Delisa dan dia nangis. Tapi dia enggak sok-sokan, “Itu.. bukunya.. saya yang nulis lho”. Yah.. Mungkin keputusan enggak menampilkan wajahnya atau bahkan profilnya di lembar belakang bukunya karena itu. Biar enggak tiap saat di tempat umum didatengin orang terus dimintain foto atau tanda tangan :v.
          Ada juga yang nanyain arti namanya. Aku harap sih jawabannya “Enggak ada” lagi :v. Tapi ternyata ada artinya. Dulu katana dia cuman main pake nama aja tanpa tau artinya apa. Karena banyak banget yang nanyain, akhirnya dia coba cari tahu apa arti “Tere Liye” dan itu ternyata bahasa India yang artinya “Untukmu”. “Jadi sekarang setiap ditanyain arti namanya itu, saya suka sok-sokan, ‘Ya saya nulis untukmu. Untuk pembaca’. Padahal sebenernya dulu main ambil nama aja. Enggak tau artinya apa”.. :v
          Dan yang terakhir nanyain soal statusnya di FB. “Oh itu saya pake timer. Jadi kalau ada orang yang ribut-ribut di komen, mungkin aja orang yang keliatan baru update status itu lagi tidur. Padahal pake timer. Jadi nanti dia ngepos-ngepos sendiri” katanya.
          Materi Tere Liyepun selesai dan sekarang kami istirahat makan malam dulu. Oh iya, sebelum makan, kami foto bareng dulu sama Bang Tere Liye.

          Di sela-sela makan malam, kak Sekar pamit pulang. Duuh kak Sekar.. baru sebentar kenal udah pisah aja.. Hati-hati di jalan kak Sekar..
          Selesai makan (Yang lagi-lagi enggak nafsu), aku menyadari kalau sedari tadi panitia sibuk ke sana ke mari sambil manggilin nama finalis. Mereka juga ngebagiin goody bag kecil yang ternyata isinya baju.
          “Alisa?” yah.. Alisa lagi deh -_-.
          Waktu aku datangin panitia  yang tadi manggil aku, aku disuruh tanda tangan dan menerima amplop cokelat. Paan nih..
          Aku langsung tercekat begitu baca apaan itu. Itu penggantian uang tranportasi sama uang saku.. Aku enggak pernah mikir kalau bisa lolos winner camp itu dapet uang saku. Ini lumayan lho.. Lebih banyak daripada waktu naskah Hachimi & Hachiko-ku dibeli DAR! Mizan.
          Setelah semua finalis cukup istirahat dan semuanya sudah dapat baju serta uang saku masing-masing, ada motivasi menulis dari Kang Abik.
          Kang Abik masuknya agak telat karena slide shownya belum siap. Dari 3 coach, cuma Tere Liye yang enggak pakai slide show tapi jujur dia yang paling menarik menurutku diantara ketiga coach ini. (Meski dipenuhi dengan jawaban “Enggak ada”).
          “Berawal dari kata, perubahan terjadi. Berawal dari kata, sejarah terjadi”.
·        Nabi Sulaiman menaklukan Saba dengan sepucuk surat
·        Tanpa buku tipis, tak akan ada negara Israel
·        Dengan teks proklamasi, Indonesia merdeka
·        Tokoh-tokoh besar pasti menulis atau memiliki pemikiran-pemikiran brilliant dan punya seorang asisten untuk menuliskan pemikiran-pemikirannya
          Di point ini, Kang Abik menampilkan di slidenya buku-buku dari tokoh-tokoh besar dunia. Ada dari Adolf Hitler, Mao Zedong, Margareth Thatcher, sampai buku yang ditulis presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.
·        Saat Soekarno berusia 25 tahun, dia sangat aktif menulis di koran dan majalah dan sejak belia sudah menuliskan gagasannya tentang Islam
·        Bung Hatta menuliskan tulisan yang sangat serius dan diterbitkan di Hindia Poetra saat usia 23 tahun
·        Menulis itu “Skill”, bukan “Knowledge”
          “Misalnya ketika naik motor, kita tahu caranya mengendarai motor. Step-stepnya kita tahu. Oh pertama-pertama masukin kunci, hidupin. Masukin giginya, terus tarik gas dan motornya jalan. Tapi kalau kita hanya tau cara-caranya saja tanpa pernah mencoba naik motornya, bisa tidak kita? Ya enggak. Harus belajar dulu. Baru bisa. Nah menulis juga sama.
·        3M = Menulis, Menulis, dan Menulis seterusnya
          3M. Menulis, menulis, dan menulis seterusnya. Itu kuncinya”
          “ Kalian tahu tidak apa yang membuat malaikat itu bercahaya? Kedisiplinan. Enggak ada malaikat yang enggak disiplin”
          Kang Abik cerita waktu ada sinetron yang diadaptasi dari salah satu novelnya. Dia sendiri yang menulis scriptnya. Setiap hari dia harus menulis scriptnya dan kadang dalam 1 hari itu dia bukan hanya nulis scriptnya aja. Tapi juga harus ngerevisi script sebelumnya. Telat saja sehari, ruginya bisa banyak banget. Ya kalau dia enggak ngirim scriptnya, jadinya enggak syuting nanti. Sementara lokasi syutingnya disewa perhari, aktris dan aktornya juga dibayar. Semuanya hanya karena ketidakdisiplinan.
          “Ketika menulis, jangan menilai dulu tulisan kita jelek. Selesaikan dulu baru menilai. Kalau enggak, nanti enggak selesai-selesai nulisnya”.
          Kang Abik juga cerita waktu dia nulis salah satu scene di novelnya, dia buatnya sambil nangis. “Saya tuh kesel. Kesel sama penulisnya padahal penulisnya tuh saya sendiri. Kenapa ceritanya harus begini??”. Ternyata, di bagian itu, orang-orang yang bacanya kebanyakan juga nangis. “Apa yang dibuat oleh hati, akan sampai ke hati” kata Kang Abik sambil tersenyum.
          “Suatu hari nanti, kalian 30 finalis ini harus punya karya yang lebih hebat dari Habirurahman El-Shirazy!” kata Kang Abik mantap di penghujung materinya.
          Selesai materi, hampir semua dari kami maju buat minta tanda tangan dan berfoto.

          Selesai sesi tanda tangan, kamipun pulang ke Hotel Posters.
          Sampai hotel jam 21.15. Molor sejam. Karena udah jam segini dan besok kami harus sudah siap pagi-pagi sekali, usulan “Dugem” dari kak Ahsani diundur besok.
          Yah, walaupun capek dan besok harus bangun pagi, aku harus nyiapin buat besok final. Siapin plot suratnya.
..besok final..
          Baru selesai nulisin plot sekitar jam 11 dan segera mencoba tidur. Pokoknya besok harus fit. Harus fit..
..besok final..
          Aku dari tadi udah ngubah-ngubah posisi tidurku tapi enggak ada yang nyaman dan tetap enggak bisa tidur. Kak Izza di sebelah kananku pulas banget. Hiks.. enak banget..
          Jam 12..
..nanti final..
          Aku. Enggak. Bisa. Tidur. Sama. Sekali.
..nanti gimana ya finalnya??..
          Pokoknya aku tetap terjaga semalaman suntuk sampe alarmnya bunyi jam setengah 5. Di THEATRE dulu masih mending bisa tidur walaupun sebentar. Ini sama sekali enggak ada semenitpun.
          Kak Izza yang duluan mandi. Kalau enggak salah kami keluar kamar jam 05.15. “Yuk.. di bawah udah rame nih kayaknya” kata kak Izza.
          Dan emang bener. Udah rame. Kalau enggak salah aku gabung di meja yang orang-orangnya sama kayak waktu makan siang kemarin.
          Lagi-lagi aku makan sedikit aja. Tambah enggak nafsu tiap keinget bentar lagi final.
          Kali ini makanannya bukan nasi box lagi. Sekarang makanannya prasmanan. Aku sempet keliling buat lihat-lihat ada makanan apa aja. Tapi bukannya tertarik ngambil sesuatu, aku lebih tertarik sama piano di sudut ruangan.
          “Yah dikunci”. Tapi sesaat setelah aku bilang gitu, penutupnya keangkat :v. Ternyata cuma berat aja..
          Hmm.. Biar lebih rileks, kayaknya main piano oke nih..
          Jadilah aku main piano. Sayangnya karena udah lama banget enggak main piano, salah-salah terus. Atau paling cuma bisa mainin setengah lagu.
          Beberapa saat kemudian, kak Thia gabung main piano. Kak Nadia juga ikut mendekat.
          Aku jadi inget waktu aku chat sama kak Thia beberapa tahun lalu di grup. Waktu itu aku ngirimin VN main piano pas kak Thia lagi muncul di grup (Kejadian yang amat langka). Sekarang aku bisa main langsung di depan kak Thia dan aku juga bisa lihat kak Thia main piano secara langsung.. aiwduai;sgfyidfgaUSHF.. Seneng banget..
          Enggak lama kemudian, pak Rachmat menyuruh kami siap-siap buat segera pergi ke Graha Pos..
..seketika aku teringat final..
Bersambung :v

BTW, kayaknya sambungan postnya bakalan lama deh soalnya aku bakalan fokus nulis buat lomba sama nulis novel. Jadi.. Maaf lagi ya.. heheheheh..